DI Lombok Epicentrum Mall (LEM), pengunjung pusat perbelanjaan terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTB) ini terlihat ramai di akhir pekan, pada minggu pertama bulan Oktober 2025. Di tempat lain, di Lombok Timur, para petani tembakau sibuk memanen daun tua. Sedang berlangsung musim yang kerap disebut sebagai panen ‘’emas hijau’’.
Di pasar tradisional Pagesangan, Mataram, terlihat hiruk pikuk pedagang dan pembeli. Mereka bertransaksi seputar kebutuhan mendasar. Di tempat lain, sejumlah karyawan perusahaan swasta juga sibuk menyelesaikan tugasnya. Demikian juga di salah satu perbankan nasional, ada antrean panjang nasabah ke customer service dan teller.
Di kantor-kantor pemerintahan, aktivitas pegawai terlihat setengah padat. Sementara di area lain, lalu lalang kendaraan dan orang intensitasnya tinggi. Terutama di jalan utama menuju Sirkuit Mandalika, ada gelaran MotoGP 3-5 Oktober 2025. Hotel-hotel sedang berpesta, melayani tamu yang notabene penonton balap kuda besi kelas dunia ini.
Aktivitas masyarakat yang begitu padat dan sibuk itu, sekelumit gambaran denyut ekonomi di NTB memasuki semester II 2025.
Ekonomi NTB memang unik. Di era Gubernur NTB, TGB. Dr. KH. Zainul Majdi, provinsi ini pernah mencatatkan sejarah sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. Ekonomi NTB tumbuh sebesar 21,76 persen tahun 2015. Saat itu sektor tambang terbesar yang dikelola oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang kemudian diakuisisi oleh PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) tengah berada di masa kejayaannya.
Sebagaimana diketahui, komposisi ekonomi NTB ditopang oleh tiga sektor besar. Pertanian, pertambangan, dan pariwisata, termasuk sektor perdagangan. Lantas, bagaimana sebenarnya keunikan ekonomi daerah yang dulunya dijuluki Bumi Gora (Gogo Rancah) ini?
Pertumbuhan ekonomi NTB memang sangat fluktuatif. Dalam lima tahun terakhir berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2020 ekonomi NTB tumbuh minus 0,62 persen, tahun 2021 tumbuh 2,30 persen. Tahun 2022 tumbuh melejit menjadi 6,95 persen. Kemudian tahun 2023 turun menjadi 1.80 persen. Dan tahun 2024 tumbuh menjadi sebesar 5.30 persen.
Sementara pada tahun 2025, pada triwulan I (Januari-Maret), ekonomi NTB tumbuh q to q minus 2,29 persen. Secara y on y minus 1,43. Pada triwulan II, secara q to q tumbuh 6,56 persen, dan secara y on y tumbuh minus 0,82 persen. Jika dirata-ratakan, pertumbuhan ekonomi NTB satu semester (Januari-Juni)/semester I 2025 tumbuh minus 1,11.
Grafik ekonomi NTB memang turun naik, pascapemerintah memberlakukan kebijakan penghentian ekspor bahan mentah hasil tambang, dan mengharuskan pemurnian dilakukan di dalam negeri (smelter).
Praktis, ekspor konsentrat hasil tambang AMNT tidak dapat dikirim ke luar negeri, sembari penyelesaian pembangunan smelter yang hingga saat ini terus diproses. Dampak tidak dilakukannya ekspor konstrat, angka pertumbuhan ekonomi NTB menuju minus.

Kepala BPS Provinsi NTB, Drs. Wahyudin, M.M., menjelaskan, bahwa sektor pertambangan memiliki peran yang sangat signifikan dalam perekonomian daerah, menempati posisi kedua setelah sektor pertanian.
“Tambang adalah sektor dengan kontribusi terbesar kedua setelah pertanian terhadap PDRB NTB. Karena kontribusinya besar, maka setiap gejolak di sektor tambang sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah,” ujarnya.
Ia mencontohkan, ketika sektor pertanian tumbuh relatif stabil di kisaran 3,7 hingga 4 persen, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlalu terasa. Namun, ketika sektor tambang mengalami penurunan, seperti pada 2025 ini yang tercatat turun sekitar 30 persen, maka pertumbuhan ekonomi NTB ikut tertekan secara signifikan.
“Penurunan 30 persen di sektor tambang jelas berpengaruh besar terhadap PDRB secara keseluruhan. Tahun 2025, pertumbuhan ekonomi NTB dengan tambang tercatat minus 1,43 persen pada triwulan I, dan minus 0,82 pada triwulan II 2025. Hal ini terjadi karena ekspor hasil tambang belum bisa dilakukan karena tidak boleh ekspor hasil tambang dalam bentuk mentah. Tetapi jika kontribusi tambang dikeluarkan, ekonomi NTB justru tumbuh positif di atas 5 persen,” jelasnya.
Menurut Wahyudin, hal ini terjadi karena nilai produksi sektor tambang sangat besar. Karena produksinya tinggi, sehingga sektor tambang memberi nilai tambah besar dan sangat berpengaruh terhadap komponen dan angka pertumbuhan ekonomi.
Ia menambahkan, pada 2024 nilai PDRB NTB atas dasar harga berlaku tercatat sekitar Rp182 triliun. Dari jumlah itu, tambang bijih logam menyumbang sekitar Rp31 triliun atau hampir 20 persen. Angka ini hanya sedikit di bawah kontribusi sektor pertanian yang sekitar 21 persen.
“Maka, bisa dibayangkan, ketika ada goncangan di sektor tambang, dampaknya langsung terasa pada perekonomian NTB,” terangnya.
Namun, Wahyudin juga mengingatkan, bahwa sektor tambang menyerap tenaga kerja yang relatif sedikit dibandingkan sektor lain. Jumlah tenaga kerja di pertambangan hanya sekitar 30 ribu orang, jauh di bawah sektor pertanian yang melibatkan lebih dari satu juta orang.
“Karena itu, ketika pertumbuhan ekonomi tertekan akibat tambang, tidak otomatis daya beli masyarakat langsung turun atau kemiskinan meningkat. Yang justru lebih berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat NTB adalah sektor-sektor padat karya seperti pertanian, perdagangan, dan jasa,” katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa manfaat utama dari sektor pertambangan bagi daerah adalah Dana Bagi Hasil (DBH) yang diberikan setiap tahun dari penjualan hasil tambang. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk memastikan penggunaan DBH benar-benar diarahkan pada program yang menyentuh masyarakat. Seperti pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, bukan hanya untuk pembangunan fisik semata.
Ia kemudian menyinggung soal smelter yang akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian NTB. Pada triwulan II Tahun 2025 (April-Juni) ini, NTB mencatat sejarah baru dalam sektor pertambangan dan industri pengolahan mineral di provinsi ini.
Untuk pertama kalinya, daerah ini mengekspor emas batangan hasil pemurnian (smelter) ke Swiss dengan volume mencapai 345 kilogram. Nilai ekspor tersebut sebesar USD 37.411.116,53 atau setara Rp516,2 miliar (asumsi USD1 = Rp15.000).
“Kalau smelter bisa beroperasi optimal nanti, dan proses pemurnian hasil tambang dilakukan di dalam daerah. Nilai tambahnya akan semakin besar, DBH meningkat, dan industri hilir pun bisa tumbuh. Itu sebabnya kami berharap pengembangan kawasan industri di Sumbawa Barat bisa segera dipercepat,” tandasnya.
Hal senada dikemukakan Kepala Bank Indonesia Provinsi NTB, Hario K. Pamungkas. Menurutnya, sektor pertambangan memiliki peran sangat penting bagi perekonomian daerah, khususnya di NTB yang kaya sumber daya alam.
“Indonesia adalah negara yang kaya akan tambang. Kekayaan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, terutama di daerah seperti NTB yang memiliki potensi besar. Pemanfaatan tambang bukan hanya untuk mengerek pertumbuhan ekonomi. Tetapi juga harus dilakukan secara inklusif, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama,” ungkap Hario.
Ditambahkannya, keberadaan tambang memang berpengaruh signifikan terhadap perekonomian. Namun, ia menekankan bahwa pemanfaatannya harus diarahkan untuk memberi nilai tambah, terutama melalui hilirisasi dan industrialisasi.
“Sekarang, barang tambang di Indonesia wajib diolah terlebih dahulu. Artinya, membutuhkan lebih banyak Sumber Daya Manusia (SDM) dengan keterampilan baru. Dari pertambangan saja, kemudian naik ke pengolahan, otomatis skill yang dibutuhkan berbeda, dan lapangan kerja yang tercipta juga akan semakin banyak,” jelas Hario.
Hario juga menyampaikan soal pembangunan smelter di wilayah tambang yang kini terus berproses. Ia optimis keberadaan keberadaan infrastruktur ini akan membawa dampak besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah ke depannya.
“Kita bisa belajar dari beberapa provinsi lain yang smelternya sudah beroperasi penuh, seperti Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Di sana, pertumbuhan ekonomi yang awalnya ditopang sektor pertambangan, kini mulai bergeser ke industri pengolahan dan manufaktur. Ini menunjukkan adanya transformasi ekonomi yang lebih berkelanjutan,” terangnya.
Ketika smelter di NTB benar-benar beroperasi, kebutuhan SDM akan semakin besar dengan keterampilan yang lebih beragam. Hal ini akan menciptakan peluang kerja yang luas sekaligus mendorong peningkatan kualitas tenaga kerja lokal. Tentunya dampaknya kepada ekonomi makro dan mikro.
‘’Kalau bisa dimanfaatkan dengan baik, smelter akan menjadi penggerak utama ekonomi NTB ke depan. Bukan hanya meningkatkan pertumbuhan, tapi juga membuka kesempatan kerja yang lebih inklusif dan memperkuat kesejahteraan masyarakat,” demikian Hario.
Pemprov NTB telah menerima DBH dari PT AMNT sebesar Rp88,8 miliar. Dana tersebut merupakan pelunasan tanggungan DBH tahun 2024 setelah perusahaan tambang tersebut membayar setengah di bulan Juni 2025.

Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Pengelola Pendapatan Daerah (Bappenda) NTB, Fathurrahman mengatakan bagi hasil PT AMNT tahun 2024 diserahkan tepat waktu yaitu tanggal 31 Juli 2025 sesuai dengan kesepakatan.
“DBH sudah diserahkan. Nilainya Rp88.845.265.546. Itu sisa. Sudah selesai tanggungan AMNT ke Pemprov, dan tepat waktu sesuai kesepakatan kita,” ujarnya, awal Agustus 2025.
Meski pelunasan DBH tahun sebelumnya sudah tuntas, Pemprov kini menghadapi ketidakpastian terkait perhitungan DBH tahun 2025. Hal ini dipicu oleh masih berlangsungnya moratorium ekspor mineral, yang berdampak langsung terhadap laba bersih AMNT.
“Perhitungan DBH tahun ini nanti, karena ini masih belum ada pembukaan ekspor, masih moratorium. Pendapatan AMNT itu selama ini kan sangat bergantung pada ekspor,” jelasnya.
Menurutnya, selama moratorium belum dicabut dan belum ada relaksasi ekspor, potensi penerimaan DBH dari AMNT tahun ini bisa sangat kecil, bahkan nihil. “Selama ini keuntungan AMNT itu dari ekspor. Kalau ekspor belum dibuka, ya itu yang jadi persoalan,” katanya.
Pemprov NTB juga mencermati perkembangan pembangunan smelter AMNT yang nantinya akan menjadi sumber pendapatan baru perusahaan. Namun, smelter belum beroperasi penuh sehingga kontribusinya terhadap laba belum signifikan.
Sebelumnya juga, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) NTB, Nursalim mengatakan DBH AMNT senilai Rp87 miliar sudah masuk ke kas daerah pada bulan Juni 2025.
Adapun rincian pendapatan provinsi dan kabupaten/kota dari hasil Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT AMNT sebesar 1,5 persen kepada Pemprov NTB senilai 10,7 juta Dolar AS atau Rp174 miliar.
2,5 persen diberikan kepada KSB sebagai daerah penghasil atau sejumlah 17,9 juta Dolar AS atau Rp291 miliar, dan 2 persen kepada kabupaten/kota sejumlah 14,3 juta Dolar AS atau Rp232 miliar yang dibagi sembilan, sehingga masing-masing kabupaten/kota menapatkan 1,5 juta Dolar AS atau Rp25 miliar.
DBH ini kemudian didistribusikan ke dalam berbagai program yang dilaksanakan oleh daerah. Termasuk diantaranya untuk program pengentasan kemiskinan, hingga kesehatan.
Gubernur NTB, Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar memberikan relaksasi kebijakan ekspor konsentrat tambang yang dihasilkan PT. AMNT. Permintaan ini disampaikan sebagai langkah mengurangi dampak negatif kinerja sektor tambang terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Kepala Dinas ESDM Provinsi NTB, Samsudin menegaskan bahwa kontraksi sektor tambang tak dinampikkan mempengaruhi perekonomian NTB. “Karena kita masih sangat bergantung pada sektor (tambang) ini,” ungkapnya.
Menurutnya, saat ini stok konsentrat di AMNT tersedia, namun tidak bisa diekspor karena kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. “Stoknya ada, tapi tidak bisa keluar karena belum ada relaksasi dari kementerian. Jadi bukan karena tidak ada barangnya, melainkan aturan ekspornya yang ketat,” jelas Samsudin.
Ia menyebut, Gubernur sudah melakukan konsultasi dengan Kementerian ESDM untuk meminta kebijakan khusus.
“Ada upaya agar diberikan relaksasi, supaya ekonomi daerah tidak makin tertekan. Pemprov sudah berikhtiar, tinggal menunggu keputusan pemerintah pusat. Kita berharap ada jalan keluar agar kinerja tambang tidak lagi menjadi beban (terhadap pertumbuhan ekonomi NTB,” katanya.
Dengan harapan adanya relaksasi, lanjutnya, ekspor konsentrat bisa berjalan kembali, sembari menunggu rampungnya pembangunan smelter.
PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMAN), perusahaan tambang tembaga dan emas yang beroperasi di NTB, melaporkan hasil kinerja keuangan semester pertama (H1) tahun 2025 dengan menunjukkan ketahanan tinggi di tengah masa transisi operasional, penurunan produksi, serta dinamika regulasi sektor mineral dan energi.
Meski menghadapi tekanan eksternal, AMMAN mencatat total aset sebesar 12,68 miliar dolar AS pada 30 Juni 2025, naik dari 11,12 miliar dolar AS pada akhir Desember 2024. Kenaikan ini terutama didorong oleh investasi berkelanjutan dalam pembangunan fasilitas pemrosesan dan infrastruktur pendukung operasi tambang Batu Hijau.
Pada semester pertama 2025, penjualan bersih tercatat 182,6 juta dolar AS, turun dari 1,55 miliar dolar AS pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini disebabkan oleh terbatasnya penjualan konsentrat tembaga selama masa penyesuaian produksi dan proses transisi ke operasi purna tambang.
Sementara itu, beban pokok penjualan mencapai 126,9 juta dolar AS, sehingga menghasilkan laba kotor sebesar 55,7 juta dolar AS. Jauh menurun dibanding laba kotor 851,9 juta dolar AS pada semester pertama 2024. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap hasil akhir, di mana perusahaan mencatat rugi bersih sebesar 146,4 juta dolar AS pada semester I 2025, dibandingkan laba 478,6 juta dolar AS pada periode yang sama tahun lalu.
Perusahaan juga melaporkan investasi berkelanjutan pada aset tetap sebesar 693,8 juta dolar AS selama semester I 2025, termasuk dalam pengembangan fasilitas smelter dan pabrik pemurnian.
Langkah ini menjadi bagian penting dari strategi hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah mineral dan mendukung kebijakan pemerintah dalam memperkuat industri nasional.
Meski mencatatkan rugi sementara, AMMAN tetap menegaskan komitmennya untuk melanjutkan pembangunan berkelanjutan, efisiensi operasional, serta penguatan tata kelola perusahaan.
“Semester pertama 2025 menjadi periode krusial bagi AMMAN. Kami menghadapi tantangan besar akibat perubahan regulasi dan dinamika pasar global, namun perusahaan tetap fokus menjaga keberlanjutan operasional serta mendukung transformasi industri tembaga nasional,” demikian pernyataan resmi manajemen AMMAN diterima media ini.
Namun, dengan proyek smelter yang mendekati tahap akhir konstruksi, perusahaan optimistis kinerja akan kembali meningkat pada paruh kedua tahun 2025 dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, terutama dari sektor ekspor dan penciptaan lapangan kerja di NTB. (bul)

