spot_img
Jumat, November 7, 2025
spot_img
BerandaPARIWISATABerkat Pariwisata Budaya Berkelanjutan, I Gede Mudana Kini Guru Besar Politeknik Negeri...

Berkat Pariwisata Budaya Berkelanjutan, I Gede Mudana Kini Guru Besar Politeknik Negeri Bali

Bali (Suara NTB) – Politeknik Negeri Bali berhasil mengukuhkan enam guru besar baru, yaitu Prof Dr Dra Ni Nyoman Aryaningsih, MM, Prof Dr I Made Darma Oka SST.Par, M.Par, Prof Dr Gede Ginaya M.Si, Prof Dr I Nyoman Darmayasa, SE.Ak, MM, Prof Dr I Made Suarta, SE, MT dan Prof Dr I Gede Mudana, M.Si di kampus Bukit Jimbaran pada Kamis 25 Oktober 2025 di Gedung Widya Padma Politeknik Negeri Bali di Jalan Kampus Bukit Jimbaran, Bali.

Dengan pengukuhan ini, kampus penyedia sumber daya manusia profesional ini kini memiliki 17 profesor (guru besar) yang tersebar di tujuh departemen, yaitu Teknik Sipil, Teknik Mesin, Teknik Elektro, Teknik Informatika, Administrasi Bisnis, Akuntansi, dan Pariwisata. Departemen Pariwisata memiliki profesor terbanyak, yaitu lima.

Sebagai guru besar ke-17, I Gede Mudana adalah salah satu dosen Program Doktor (S3) Bisnis Pariwisata Politeknik Negeri Bali. Mudana secara formal tercatat berkepakaran bidang pariwisata budaya berkelanjutan. Ia menyampaikan orasi guru besar yang berjudul “Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Glokalisasi Sustainabilitas dalam Pariwisata”.

Gagasan keilmuan yang ditawarkan sungguh aktual, menarik sekaligus menantang secara keilmuan. Melalui sustainable cultural tourism (pariwisata budaya berkelanjutan), ia menawarkan jalan tengah dan sekaligus jalan keluar bagi tarik-menarik diskursif dalam konteks politik bisnis pariwisata antara gerakan progresif globalisasi dan semangat kebertahanan lokalisasi.

Mudana berstatemen, globalisasi dalam konteks pariwisata di antaranya memfenomena secara global di seluruh dunia melalui Sustainable Tourism yang diwakili oleh entitas sustainabilitas sementara lokalisasi pariwisata bertahan melalui paradigma-paradigma kontekstual yang skalanya lebih kecil dan mikro seperti pariwisata budaya.

Secara kritis Mudana menyoroti fakta bahwa pada dasarnya pariwisata budaya sudah memiliki norma-norma umum sebagaimana tawaran-tawaran dalam Pariwisata Berkelanjutan tetapi, kelemahannya, tidak secara keilmuan dibuat terukur dan lebih kuantitatif dalam pariwisata budaya. Permasalahannya adalah di dunia Timur, kebudayaan lebih sering hanya merupakan tacit knowledge, yaitu pengetahuan yang tidak terekpresikan sebagai pengetahuan ilmiah sehingga sulit menjadi scientific knowledge (ilmu pengetahuan ilmiah).

Saatnya harus ada dekonstruksi ilmiah atas aspek-aspek keilmuan dalam dikursus pariwisata budaya. Di tingkat praktis, hal ini diperparah dengan kelemahan pengejawantahan paradigma pariwisata budaya secara konsisten berupa ketidak-intensifan threefolding (tiga pilar) pemerintah-swasta-masyarakat sipil mengawal dan mengamalkannya dalam praktik nyata. Padahal di Bali misalnya sudah ada Perda pariwisata Budaya yang mengatur.

Dengan adanya gagasan pariwisata budaya berkelanjutan bukan berarti brand pariwisata budaya harus berubah menjadi brand baru yaitu pariwisata budaya berkelanjutan. Menurut Mudana, hal itu tidak perlu diubah dalam pariwisata budaya karena kalau diubah dapat menghilangkan identitas dan sejarah.

Hanya perlu ditambahkan paradigma, nilai-nilai dan semangat pariwisata berkelanjutan dalam pariwisata budaya yang sedang dijalankan.(*)

IKLAN










RELATED ARTICLES
- Advertisment -






VIDEO