DIVERSIFIKASI konsumsi pangan memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya untuk meningkatkan perbaikan gizi serta untuk mendapatkan manusia yang berkualitas. Sejumlah pakar kesehatan menyebut manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat memerlukan lebih dari 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan, di mana dapat dipenuhi melalui diversifikasi konsumsi pangan.
Dalam jurnal ilmiah yang diterbitkan Universitas Sebelas Maret Vol. 7 No.2 Februari 2011 : 85 – 90 dengan periset Keppi Sukesi dan Agustina Shinta, Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya menyebutkan bahwa diversifikasi pangan dapat meningkatkan konsumsi berbagai anti oksidan pangan, konsumsi serat, menurunkan risiko hiperkolesterol, hipertensi dan penyakit jantung koroner.
Dalam aspek makro, peranan diversifikasi pangan dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan dalam mengurangi ketergantungan pada beras sehingga diharapkan mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional serta dapat dijadikan sebagai instrumen peningkatan produktifitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat.
Makanan yang masuk kedalam tubuh selanjutnya melalui proses pencernaan dipecah menjadi zat gizi, kemudian zat gizi tersebut diserap ke dalam aliran darah yang mengangkutnya ke berbagai bagian tubuh. Penilaian tentang kecukupan gizi menjadi penting karena dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan program ketahanan pangan dan membantu mengatasi kekurangan gizi yang dialami suatu masyarakat, menyediakan sejumlah dan jenis pangan yang diperlukan guna mendukung peningkatan kesehatan penduduk.
Pemerintah tentunya sangat berkepentingan memonitor kondisi status gizi penduduknya guna menentukan apakah upaya-upaya yang telah dilakukan guna memperbaiki status gizi masyarakat-nya sudah berjalan secara efektif.
Dikutip dari kemkes.go.id edisi 5 Juni 2024, ada banyak makanan non beras yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Rata-rata pangan non beras tersebut memiliki kandungan gizi tinggi dan dapat mencegah sejumlah penyakit. Salah satunya adalah sorgum.
Pemerintah sedang berupaya mencari pangan alternatif pengganti nasi untuk mewujudkan diversifikasi pangan dan mendukung keberhasilan program pangan B2SA, akronim dari bergizi, beragam, seimbang, dan aman. Sorgum, tanaman serealia yang berasal dari Afrika Timur, dapat dimanfaatkan sebagai pengganti beras karena memiliki kandungan gizi yang tinggi, terutama karbohidrat.
Di beberapa daerah, sorgum dikenal juga dengan sebutan cantel atau gandrung. Sorgum juga merupakan tanaman pangan lahan kering yang potensial dikembangkan di Indonesia. Menurut Pusat Perpustakaan dan Literasi Pertanian Kementan RI, tanaman sorgum memiliki adaptasi yang baik terhadap lingkungan kering dan lahan marginal. Di Indonesia, budidaya sorgum tersebar di beberapa wilayah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Menurut Pusat Perpustakaan dan Literasi Pertanian Kementan RI pada 2013, sorgum mengandung, antara lain, adalah zat besi, kalsium serta vitamin B1 dan B3. Dalam 100 gram sorgum terdapat kandungan 332 kalori, 11 gram protein, 3,3 gram lemak, 73 gram karbohidrat, 28 miligram kalsium, 1,1 milligram zat besi, dan 287 miligram fosfor. Sorgum mengandung senyawa polifenol seperti antosianin dan tanin, serta serat yang tinggi. Di antara jenis sorgum, sorgum hitam memiliki kandungan antosianin tertinggi dengan apigeninidin dan luteolinidin mencapai 36-50%. Antosianin pada sorgum memiliki efek antioksidan atau imunomodulator yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Kandungan peptida protein yang tinggi pada sorgum juga menjadikannya memiliki nilai fungsional sebagai antivirus.(ris)