Mataram (Suara NTB) – Mantan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM NTB, H. Wirajaya Kusuma yang saat ini menjabat Kepala Biro Perekonomian Setda NTB menjelaskan secara rinci pengadaan masker non-medis yang dilakukan pada masa darurat pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu.
Wirajaya Kusuma di Mataram, Senin 10 Maret 2025 mengungkapkan bahwa pada tahun 2020, saat dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas Koperasi dan UKM, ia berulang kali bertanya kepada penyidik Polres Mataram mengenai dasar perhitungan kerugian negara dalam pengadaan masker non-medis. “Pengadaan masker ini dilaksanakan saat keadaan darurat pandemi Covid-19, dan kami mengikuti peraturan yang ada,” katanya.
Salah satu dasar hukum yang digunakan adalah Peraturan LKPP No. 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Keadaan Darurat, yang menyatakan bahwa satuan harga barang dan jasa ditentukan oleh penyedia.
Penyedia juga wajib membuat analisis kewajaran harga sesuai dengan kondisi saat itu. Pengadaan masker non-medis ini melibatkan sebanyak 105 UMKM di seluruh NTB, sebagai bagian dari upaya untuk memberikan stimulus ekonomi bagi sektor UMKM yang terdampak krisis akibat pandemi.
Wirajaya menjelaskan bahwa pengadaan masker ini dilakukan dengan tujuan untuk membantu penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) serta mendukung pemulihan ekonomi bagi UMKM yang saat itu mengalami kesulitan.
Dana yang digunakan berasal dari Dana BTT (Belanja Tidak Terduga) Tahun 2020, dan atas perintah Gubernur NTB saat itu, Dr. H.Zulkieflimansyah. Pengadaan masker dilakukan dengan melibatkan sebanyak mungkin UMKM.
Selama proses pengadaan, dilakukan pendampingan oleh Inspektorat NTB, BPKP, Aspidsus Kejati NTB, dan Dirreskrimsus Polda NTB. Inspektorat NTB kemudian melakukan audit pasca pengadaan masker pertama sebanyak 100 ribu masker non-medis, sesuai dengan ketentuan LKPP No. 13 Tahun 2018. Laporan hasil audit oleh Inspektorat dan BPK RI Perwakilan NTB yang dilakukan pada Oktober hingga November 2020, tidak menemukan adanya kerugian negara dalam pengadaan tersebut.
Menurut Wirajaya, salah satu pasal dalam Surat Edaran LKPP No. 13 Tahun 2018 menyatakan bahwa penyedia wajib membuat analisis kewajaran harga berdasarkan kondisi saat itu. Semua UMKM yang terlibat dalam pengadaan masker telah membuat analisis kewajaran harga dan menandatangani Pakta Integritas yang menyatakan bahwa mereka siap mengembalikan keuangan negara jika ditemukan adanya kemahalan harga.
“Makanya saya heran, kenapa sekarang baru ada klaim dari Polisi mengenai kemahalan harga berdasarkan hasil audit BPKP. Padahal sudah ada hasil audit oleh Inspektorat dan BPK RI pada tahun 2020,” ujar Wirajaya.
Ia juga mempertanyakan apakah UMKM yang terlibat dalam pengadaan masker, yang sudah memberikan kontribusi dalam pengadaan APD selama pandemi, harus mengembalikan uang negara jika ditemukan ada kemahalan harga.
“Tujuan dari pengadaan barang dan jasa saat Covid-19 adalah memberikan stimulus ekonomi kepada UMKM yang pada saat itu hampir mati suri usahanya.”
Wirajaya menegaskan bahwa pada saat itu tidak ada harga pembanding karena harga satuan masker ditentukan oleh UMKM sebagai penyedia. Harga masker sebesar Rp9.900 per masker ditetapkan berdasarkan analisis harga yang disampaikan oleh masing-masing UMKM sesuai dengan komponen biaya satuan masker non-medis. Selain itu, harga ini juga dimaksudkan sebagai stimulus ekonomi bagi UMKM agar usaha mereka tetap berjalan selama masa darurat Covid-19.
Untuk diketahui, kasus dugaan korupsi pengadaan masker hampir mencapai titik terang. Satuan Reserse Kriminal Polresta Mataram membidik enam orang yang diduga terlibat dalam kasus yang merugikan negara hingga Rp Rp1,58 miliar.
Kasat Reskrim Polresta Mataram, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Regi Halili di Mataram mengungkapkan, ada dugaan penyelenggara negara yang terlibat dalam kasus ini. Dalam waktu dekat, pihaknya akan segera merilis nama-nama tersebut. (bul)