spot_img
Jumat, Maret 14, 2025
spot_img
BerandaBlogPemimpin, "Orang Dekat" dan Kepercayaan Publik

Pemimpin, “Orang Dekat” dan Kepercayaan Publik

Catatan: Agus Talino.

PEMIMPIN adalah harapan. Pemimpin harus punya cara menjaga harapan publik. Menjaga “psikologi publik”. Tujuannya, agar kepercayaan publik tidak melemah. Dan lenyap ditelan waktu. Karena tidak melihat dan menemukan “tanda-tanda”. Bahwa pemimpin yang dipersepsikan hebat. Pemimpin yang dipilihnya. Pemimpin yang diperjuangkannya menepati janjinya. Apalagi kalau janjinya melambung. Melayang dan berada di “langit biru” sana.

Ini bukan soal “perdebatan” program 100 hari. Saya tidak terlalu tertarik mempercakapkan program 100 hari. Apalagi “berdebat” tentang hal tersebut. Tetapi ini soal bukti. Soal cara pemimpin menjaga kepercayaan publik. Cara pemimpin menjaga “psikologi publik”. Cara pemimpin menjaga semangat dan optimisme publik.

Pemimpin penting melakukan sesuatu pada  “awal langkahnya”. Publik perlu mendapat gambaran. Bahwa pemimpinnya tidak sebatas “omon-omon”. Pemimpinnya bukan tukang PHP dan suka menebar janji kosong.  Pada awal kepemimpinannya saja. Langkahnya keren. Keputusannya menghadirkan harapan. Menghadirkan optimisme. Mencerminkan janjinya pada publik mulai tertunai. Apalagi 5 tahun kepemimpinannya. Artinya, publik percaya janji pemimpinnya. Percaya masa depan daerahnya akan “cerah”.

Katakanlah tentang cara baru memimpin daerah. Yang mungkin pernah ditawarkan pada publik. Sederhana saja. Lakukan saja cara baru itu. Cara yang tidak sama dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Cara yang “menghentak” kesadaran publik. Langkah yang membuat orang terbangun dari kekeliruan yang panjang. Mungkin selama ini, ada yang terpukau dengan pemimpin yang memimpin dengan cara- cara kuno dan sudah tak cocok. Tak sadar kagum pada kekeliruan. Terpesona pada kesalahan.

Karena bisa saja. Ada publik yang belum tahu bentuk cara-cara baru memimpin daerah itu seperti apa? Sehingga daerah yang dipimpinnya “melompat” jauh. Melampaui ekspektasi publik.

Tetapi kalau seiring perjalanan waktu. Satu hari, dua hari. Satu minggu, dua minggu. Satu bulan, dua bulan. Bahkan lewat tiga bulan. Lewat enam bulan. Publik belum melihat ada langkah dan keputusan yang mencerminkan cara-cara baru memimpin daerah. Bisa menjadi masalah. Apalagi kalau yang dilakukan adalah cara-cara lama juga. Sama saja dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Yang disebut sudah tidak cocok lagi untuk memimpin daerah. Cara kuno yang menjadikan daerah tidak maju-maju. Penduduk miskin masih banyak. Alumni-alumni perguruan tinggi masih kesulitan mendapatkan perkerjaan.

Pemimpin tidak boleh tidak menghitung. Apalagi meremehkan kecerdasan publik. Sehingga suka-suka saja ngomong dan menebar janji. Suka-suka saja menawarkan program. Publik ada yang mencatat lho. Meski tidak menagih janji pemimpinnya secara terbuka, misalnya. Publik tidak bisa “didekte” pikirannya untuk berkesimpulan. Publik bisa juga suka-suka mengambil “keputusan”. Pemimpinnya disimpulkan “gombal”. Atau sebaliknya, keren.

Menjaga kepercayaan itu mahal. Apalagi pemimpin. Ada moral di sana. Jika pemimpin kehilangan kepercayaan publik. Risikonya besar. Tidak saja bisa kehilangan kesempatan untuk terpilih lagi. Jika masih ada kesempatan untuk ikut kontestasi. Tetapi yang repot itu. Publik menjadi “cuek bebek”. Tidak  mau mendukung program-program yang ada. Publik menjadi apatis. Malas saja. Karena pemimpinnya, hanya gagah pada “cuap-cuap”. Praktiknya tidak seperti “cuap-cuap”-nya. “Omong”-nya tinggi. Tindakannya “datar”. Teorinya “ramai”. Praktiknya “sepi”. Dan hanya menjadi “penjahit” dan “penyulam” kata yang indah dan manis saja.

Tanggung jawab pemimpin itu besar. Pemimpin tidak selalu berpikir dan mengurus yang besar-besar. Yang kecil-kecil. Kadang-kadang perlu diurus juga. Pemimpin tidak hanya berpikir general. Tetapi perlu juga berpikir detail. Apalagi kalau masalah yang sepertinya kecil. Tetapi bisa mengganggu dan merusak sesuatu yang besar. Pemimpin perlu “turun tangan'”. Menyelesaikan dan mengurai masalah. Tak boleh membiarkan “api berkobar”. Seperti titik api membakar dan mengahanguskan seluruh tumpukan sekam.

Yang sederhana saja. Misalnya terjadi gesekan. Atau konflik sesama “orang dekat”. Situasi seperti itu bisa saja terjadi. Penyebabnya, bisa beragam. “Orang dekat” datang dari banyak latar belakang.  Bisa saja punya sudut pandang dan kepentingan yang berbeda. Pemimpin tidak boleh “cuek”. Konflik “orang dekat” bisa merembet ke-mana-mana. Bisa merusak reputasi  pemimpin.  Dan bisa mencederai kepercayaan publik terhadap pemimpin. Paling tidak, kalau ada gesekan “orang dekat”. Pastikan selesai di-“dalam”. Tidak usah sampai bocor ke-“luar”. Apalagi menjadi percakapan dan perbincangan publik. Dampaknya tidak bagus pada pemimpin. “Orang dekat”  makan nangka. Pemimpin ikut kena getahnya.

“Orang dekat”  itu adalah cermin dan wajah pemimpin. Harus bisa jaga sikap. Itu adalah cara menjaga pemimpin. Publik suka dan percaya pada pemimpin. Tetapi “orang dekat”-nya “aneh-aneh”. Petantang-petenteng. Gayanya tinggi. Seperti paling “berkuasa”. Gayanya seperti lebih “power full” ketimbang pemimpin. Bisa saja publik menjadi tidak suka dan tidak percaya pada pemimpin. Karena memiliki dan memilihara “orang dekat” yang bisa mengganggu “psikologi publik”.

Pemimpin itu mendengar. Kaya informasi. Memahami realitas publik. Mengerti “lapangan” secara lengkap. Tidak tipis telinganya. Minta masukan. Minta dikritik. Ketika dikritik sedikit. Ngambek. Kepanasan. Tersinggung. Repot juga kalau begitu. Risiko jadi pemimpin begitu. Pemimpin adalah pusat perhatian. Keputusannya berpengaruh pada kehidupan banyak orang. Wajar publik mencermati tingkah lakunya.

Pemimpin itu bijaksana. Pemimpin itu mempengaruhi. Tidak boleh gampang terpengaruh. Apalagi “terprovokasi”. Pemimpin harus ketat menyeleksi informasi. Meski itu datang dari “orang dekat”. Tidak menutup kemungkinan ada “orang dekat” yang punya kepentingan tertentu. Dan menggunakan tangan pemimpin untuk kepentingannya. Pemimpin tidak boleh menjadi “kerdil”.  Larut dengan kekerdilan “orang dekat”-nya. Pemimpin yang biasa bermain di “samudera”. Terseret bermain di-“empang”. Kerena terkecoh “orang dekat”-nya.

Pada setiap kontestasi. Dukung mendukung itu adalah soal biasa. Jangan terlampau baper. Apalagi menyimpan ketidaksukaan yang panjang dan dalam. Misalnya, tidak mau bekerja sama dengan orang tertentu. Karena yang bersangkutan mendukung calon lain pada saat kontestasi. Pemimpin percaya dan mengikuti. Sebab informasinya datang dari “orang dekat”. Padahal informasi yang diterima bisa saja tidak semuanya benar. Akibatnya, tidak saja bisa merugikan orang lain. Pemimpin juga bisa rugi.

Catatannya. Negeri dan daerah ini bukan milik orang perorangan. Pemenang kontestasi adalah pemimpin untuk semua. Semua orang berhak dan bolehlah mencari rezeki. Yang paling penting cara cari rezekinya benar. Tidak boleh juga dihalang-halangi. Apalagi dengan alasan yang tidak jelas. Misalnya, karena tidak mendukung pada saat kontestasi. Jangan begitu-lah. Itu tidak baik. Semesta punya “hukum” dan cara kerjanya sendiri.

Membaca pemimpin perlu kearifan. Kita tidak boleh paksa kehendak. Tidak boleh egois.Tidak bijaksana juga. Memaksa pemimpin melakukan “gebrakan” dan “kejutan” besar dalam rentang waktu yang singkat. Apalagi baru memimpin dalam hitungan hari. Pemimpin mungkin perlu mengambil “aba-aba”.  Perlu “tarik napas” dulu untuk melakukan langkah besar. Tidak bisa seperti makan cabai. Pedasnya langsung terasa ketika menyetuh lidah.

Tetapi penting pemimpin menghitung langkah secara cermat. Langkah awal tidak boleh keliru. Apalagi kalau langkah dan keputusannya.  Pertimbangannya, dari informasi yang tidak akurat.  Sebaiknya tidak usah didengar “bisikan-bisikan”  yang bisa berakibat kurang baik. Meski itu datang dari “orang dekat”.  Kata Giordano Bruno. Jika kancing pertama pada jas sesorang salah dikancingkan, maka semua kancing lainnya akan bengkok. *

RELATED ARTICLES
- Advertisment -


VIDEO