Tanjung (Suara NTB) – Bawaslu Kabupaten Lombok Utara (KLU) mengambil sikap atas informasi mutasi yang dilakukan Pemda Lombok Utara pada 22 Maret lalu. Sebagaimana KLU sebagai daerah peserta Pilkada, maka mutasi yang dilakukan Pemda menjadi pengawasan Bawaslu. Terhadap mutasi terakhir, Bawaslu pun memberi “ultimatum” kepada Pemda yakni mencabut atau membatalkan SK secara mandiri.
“Kami beri waktu batalkan dalam beberapa hari ke depan, kalau tidak (dibatalkan), kami klarifikasi lagi. Jika ada indikasi (tidak dibatalkan), kemungkinan kami koordinasi dengan Kemendagri untuk dibatalkan,” tegas Ketua Bawaslu KLU, Deni Hartawan, SH., kepada Suara NTB, Rabu 03 April 2024
Ia menjelaskan, sesuai ketentuan Perbawaslu, persoalan mutasi lingkup Pemda KLU ini bersifat informasi sehingga sampai pada “ultimatum” pembatalan SK, Bawaslu berproses sesuai mekanisme. Mulai dari penelusuran, klarifikasi ke Sekretariat Daerah untuk membuktikan apakah mutasi tersebut mendapat izin atau tidak dari Kemendagri. Selama proses itu, Bawaslu kemudian menunggu sikap Pemda KLU untuk membatalkan secara mandiri dalam waktu beberapa hari ke depan.
Dalam konteks waktu (beberapa hari) tersebut, Deni menyebut bisa 2 hari atau 3 hari, sebab substansi kasus yang bersumber dari informasi tidak memiliki rentang (batasan) waktu.
“Berbeda dengan konteks Pengawasan, maka kekeliruan yang menjadi temuan harus diselesaikan dalam 1×24 jam. Tetapi karena ini informasi dan bukan hasil pengawasan, maka kami turunnya berproses,” ujarnya.
Kendati demikian, Deni menegaskan berdasarkan penelusuran dan konfirmasi kepada pejabat terkait di Sekretariat Daerah, pihaknya mendapati bahwa mutasi 22 Maret lalu telah diakui keliru.
Sehingga, menurut Deni, dari perspektif Bawaslu, kasus mutasi ini bisa disimpulkan secara sederhana. Yaitu, kasus “clear” jika SK mutasi dibatalkan, atau berlanjut sampai kepada surat menyurat dengan Kemendagri jika dalam 2-3 hari tidak ada keputusan pembatalan dari Bupati.
Deni menerangkan, sesuai proses penelusuran awal, Bawaslu belum mengetahui apakah mutasi ini berizin atau tidak. Sehingga dalam kajiannya, Bawaslu kembali pada regulasi UU 10/2016 – Pasal 71, dimana Bupati tidak diperbolehkan melakukan mutasi 6 bulan sebelum dan sesudah penetapan calon.
Hanya saja, mutasi pada 22 Maret lalu, menurut Deni merupakan masalah nasional. Di mana banyak daerah mempersepsikan keliru, bahwa 22 Maret sebagai batas waktu terakhir mutasi sebelum penetapan calon.
“Awalnya kami belum berani simpulkan, siapa tahu ada izin tertulis, tetapi faktanya, tidak ada izin. Pak Sekda mengakui memang, itu salah. Kalau kami di Bawaslu melihatnya sesuai Undang-undang, memang itu salah,” tegasnya.
Lebih lanjut, Bawaslu KLU sebelumnya sudah melakukan pencegahan dengan mengimbau kepada Pemda Lombok Utara agar tidak melakukan mutasi pada periode yang dilarang secara aturan.
“Mungkin imbauan kami luput, tetapi kami tetap bekerja sesuai asas dan dari sisi hukum. Jangan sampai kami melakukan tindakan tanpa mencegah terlebih dahulu,” sambungnya.
Deni juga tak memungkiri, Pejabat terkait di Pemda KLU sedang melakukan lobi ke Kemendagri agar SK mutasi 22 Maret tidak dibatalkan. Untuk itu, pihaknya memberi atensi serius di mana perkembangan komunikasi Pemda dengan Kemendagri tetap dipantau.
Pihaknya sendiri berharap, mutasi 22 Maret tidak menjadi bola liar, sehingga antara lembaga dapat saling menjaga dengan tidak melakukan tindakan (mutasi) secara semena-mena. “Setelah 2 atau 3 hari lagi, kami akan panggil klarifikasi. Jika tidak ada keputusan (pembatalan) maka akan keluar rekomendasi ke Kemendagri.”
Pemberian batas waktu 2-3 hari kepada Pemda, tidak berarti Bawaslu memberi toleransi kepada Bupati dan jajarannya. Tetapi murni karena munculnya salah penafsiran atas batas waktu 6 bulan (22 Maret – 22 September) yang terjadi se-Indonesia. Lagi pula, Kemendagri dalam suratnya tidak secara rigit menyebut batas waktu yang dibolehkannya mutasi yakni sampai 21 Maret. “Pantauan kami, Loteng dan Dompu karena mispersepsi. Tetapi Dompu sudah langsung membatalkan.”
“Untuk KLU kita tunggu, kalau tidak ada (pembatalan), maka kita lakukan penindakan. Kita beri mereka waktu untuk rembug dan konsultasi, apakah SK dibatalkan secara mandiri atau lewat Mendagri (melalui rekomendasi Bawaslu),” pungkas Deni.
Terpisah, Sekda KLU, Anding Duwi Cahyadi, S.STP., MM., kepada wartawan mengatakan Pemda Lombok Utara (Pemda KLU) siap membatalkan SK mutasi 103 pejabat yang dimutasi pada Jumat 22 Maret 2024 lalu, jika Kemendagri mengeluarkan Surat Edaran (SE) pembatalan.
“Kami daerah siap membatalkan itu (mutasi ) jika ada perintah Kemendagri, karena mereka adalah induk kita, makanya ini sedang berproses,” kata Sekda. Ia mengklaim, persoalan mutasi ini muncul karena perbedaan multi tafsir terkait batas waktu terakhir dibolehkannya mutasi. Akibatnya banyak daerah menggelar mutasi pada 22 Maret. Setelah SE Kemendagri No. 100.2.1.3/1575/SJ tentang “Kewenangan Kepala Daerah pada Daerah yang Melaksanakan Pilkada Dalam Aspek Kepegawaian”, keluar, isu ini kemudian banyak dipersoalkan.
Namun bagi Sekda, Pemda KLU tidak bisa dipersalahkan karena kekeliruan mutasi terjadi secara nasional. Kendati banyak daerah lain sudah mengambil keputusan membatalkan SK Pelantikan, Sekda belum bisa mengambil keputusan itu karena kebutuhan pengisian pegawai. “KLU belum bisa mengambil keputusan, karena harus berkoordinasi dulu dengan Kemendagri. Jadi saat ini, kita dalam posisi menunggu keputusan baru dari Kemendagri, agar bisa mengambil sikap,” terangnya.
Selaku Sekda, dirinya juga sudah memerintahkan kepada BKD PSDM KLU, untuk langsung berkonsultasi ke Kemendagri. “Misalkan di SE Kemendagri selanjutnya mengatakan bahwa mutasi yang dilakukan itu harus dibatalkan, maka akan kami batalkan,” tandasnya. (ari)