UPAYA penanganan sunting di Provinsi NTB terus dilakukan dengan gerakan intervensi sensitif dan spesifik. Setelah berhasil menyelenggarakan program Gotong Royong Bakti Stunting pada tahun 2023, Pemprov NTB terus melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan stunting salah satunya melalui program Jumat Salam. Dalam upaya ini, seluruh OPD di lingkup Pemerintah Provinsi, kabupaten/kota dan mitra potensial ikut bergerak.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB Dr.dr H.Lalu Hamzi Fikri mengatakan, intervensi spesifik penanganan stunting yang menjadi kewenangan Dinas Kesehatan dilakukan dalam bentuk peningkatan kapasitas petugas melalui pemeriksaan kehamilan, promosi konseling Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA), promosi konseling menyusui, tata laksana gizi buruk, pemantauan promosi pertumbuhan, pemantauan tumbuh kembang (SDIDTK) dan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
“Dilakukan pula upaya untuk terus mendorong pemberian obat atau gizi suplemen Tablet Tambah Darah (TTD), suplemen gizi makro, kalsium, vitamin A, zinc untuk diare, gizi mikro (taburia) danpemberian obat cacing,” kata H.Lalu Hamzi Fikri kepada Suara NTB Selasa (14/5) kemarin.
Ia mengatakan, instervensi sensitif dilakukan Pemerintah Provinsi NTB dengan terus mendukung seluruh Kabupaten/Kota untuk mencapai 5 Pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STMB) sebagai salah satu determinan stunting. NTB kini menjadi provinsi pertama di Indonesia yang berhasil mencapai 5 Pilar STBM.
“Ada pula intervensi sensitif berupa pencegahan perkawinan anak serta program Jaminan Kesehatan Nasional,” imbuhnya.
Kemudian Inovasi penanganan stunting juga dilakukan melalui integrasi dan kolaborasi di kabupaten/kota, pemanfaatan data by name by address pada e-PPGBM sebagai acuan pengawasan dan intervensi stunting, serta pemenuhan standar alat ukur/Antropometri di Posyandu Keluarga.
“Penanganan stunting juga dilakukan melalui dukungan dana desa untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT) balita dan ibu hamil, insentif Kader Posyandu, serta screening penyakit menular dan tidak menular,” katanya.
Selain itu dilakukan edukasi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat di Posyandu Keluarga melalui gerakan yang dilakukan oleh sektor/OPD lain yang terkait.
Menurutnya, stunting menjadi tugas bersama dengan melibatkan peran multi-sektor, mengedepankan kolaborasi dan sinergi seluruh stakeholder dari tingkat nasional hingga desa/kelurahan untuk mewujudkan penurunan angka stunting sesuai target nasional 14 persen.
Adapun presentase stunting NTB berdasarkan hasil survei dari tahun ke tahun yakni 33,49 persen pada tahun 2018 berdasarkan hasil survei Riskesdas. Kemudian 31,4 persen pada tahun 2021 berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), 32,7 persen pada tahun 2022 berdasarkan survei SSGI. Terbaru angka stunting NTB berada di angka 24,6 persen berdasarkan SKI (Survei Kesehatan Indonesia) yang dilakukan pada akhir 2023 lalu.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan RI bersama Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) tahun 2023 menunjukkan angka stunting NTB sebesar 24,6 persen, menurun 8,1 persen dibanding data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022.
“NTB memiliki progres penurunan stunting tertinggi se-Indonesia. Hasil ini cukup menggembirakan dan menjadi penyemangat untuk penanganan stunting secara lebih massif,” tambah dr. Fikri.
Pemerintah menargetkan angka prevalensi stunting Indonesia tahun 2024 mencapai 14 persen dengan berbagai strategi, mulai dari pemetaan intervensi, pendampingan keluarga prioritas melalui tim pendamping keluarga untuk
Kemudian, penguatan intervensi spesifik seperti pemberian makanan tambahan, asupan vitamin, imunisasi dan pemberian ASI eksklusif, penguatan data rutin untuk memenuhi alat ukur terstandar, pelatihan Kader Posyandu di seluruh Indonesia, hingga penguatan konvergensi pembiayaan dengan menguatkan sinergi sampai ke tingkat desa untuk menurunkan stunting secara efektif dan efisien.(ris)