KOMISI Pemilihan Umum (KPU) NTB telah memetakan sejumlah potensi kerawanan di proses Pilkada serentak tanggal 27 November 2024. Dengan memetakan kerawanan, penyelenggara pemilu bersama kepolisian bisa melakukan antisipasi untuk mencegah munculnya gangguan di pesta demokrasi ini.
Ketua KPU NTB M. Khuwailid mengatakan, proses rekapitulasi menjadi salah satu yang berpotensi terjadi kerawanan, sehingga pihaknya membuka akses untuk publik untuk memantau proses tersebut. KPPS bahkan tidak diperbolehkan secara tersembunyi melakukan perhitungan untuk menjamin transparansi tersebut.
“Jadi harus dibuka aksesenya, jadi masyarakat bisa melihat. Nah problemnya kadang-kadang di satu titik itu terjadi konsolidasi. Penyelenggara kita sudah bekerja dengan baik namun dia dipengaruhi untuk melakukan konsolidasi emosi, wilayah dan lainnya,” kata Khuwailid kepada wartawan, Selasa, 27 Agustus 2024.
Ia mengatakan, agar masyarakat bisa memantau perhitungan suara, KPU tetap menggunakan aplikasi di Pilkada serentak ini. Sebab Sirekap dinilai membantu melacak dan membuktikan konsistensi pencatatan di tahap pertama, kedua hingga perhitungan di tahap akhir.
“Tapi kita belum tahu apakah namanya tetap Sirekap atau apa,” katanya.
rekapitulasi dan perhitungan suara Pilkada serentak tahun ini polanya masih sama dengan proses rekapitulasi dan perhitungan suara di pemilu sebelumnya.
Potensi rawan yang lainnya yaitu di tahapan penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sudah dilalui dengan baik. Pada saat KPU menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS), semua pihak diharapkan harus memastikan mereka memiliki nama dalam DPS tersebut. Sebab berdasarkan pengalaman, ada masyarakat yang tak terdaftar sebagai pemilih karena sejumlah faktor.
Potensi kerawanan lainnya yaitu pada saat pelaksanaan kampanye calon kepala daerah. Sehingga tahapan kampanye ini harus sama-sama dikawal untuk menjaga momentum menjaga peradaban politik yang lebih bagus kedepannya.
“Pelaksanaan kampanye menjadi penting untuk kita waspadai, dimitigasi dan lainnya. Karena banyak informasi yang tak benar itu kan kadang membuat momentum kampanye terganggu,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Bawaslu Provinsi NTB Itratip mengatakan, kegiatan Deklarasi Pilkada Damai telah dilaksanakan tanggal 21 Agustus lalu dengan harapan proses tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 agar bisa bisa berjalan sesuai dengan ketentuan. Dengan demikian akan tercipta kondisi yang aman, damai, serta harmonis di masyarakat.
Itratif mengatakan, pihaknya menginginkan agar pelaksanaan Pilkada menjadi ruang untuk saling mengenal antar semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut, baik mengenal ide, gagasan dan program-program yang dimunculkan.
“Sehingga Pilkada ini seharusnya menjadi ruang transaksi ide, gagasan dan program yang cita-citanya untuk membangun serta mensejahterakan masyarakat NTB,” kata Itratip usai kegiatan Deklarasi Pilkada Damai Tahun 2024.
Ia menyadari bahwa ada perbedaan pilihan dan perbedaan kepentingan di Pilkada ini, namun demikian perbedaan pilihan bukan menjadi hal yang harus dibesar-besarkan sehingga bisa memicu konflik antar warga.
Dari pantauan Bawaslu NTB, sudah ada gejala-gejala pihak tertentu yang memainkan isu SARA di Pilkada. Hal ini tak terlepas dari keragaman Provinsi NTB, baik dari agama dan suku. Bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB pun mewakili tiga suku yang ada di daerah ini melalui kolaborasi pasangan calon.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, beberapa waktu yang lalu juga mengatakan tingkat kerawanan Pilkada Serentak 2024 didasarkan pada indikator kejadian-kejadian yang muncul pada Pilkada sebelumnya.
Potensi kerawanan tetap ada terutama di tingkat kabupaten/kota. Menurut Bagja, bahwa kerawanan dalam Pilkada cenderung lebih tinggi dibandingkan Pemilu, karena adanya kedekatan antara masyarakat dengan kontestan Pilkada.
Berdasarkan kerawanan kampanye di media sosial menurut Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Bawaslu untuk Pilkada 2024 menunjukkan pola kerawanan yang berbeda di tingkat provinsi dan kabupaten maupun kota. Untuk kerawanan tingkat Provinsi paling rawan kampanye di media sosial bermuatan hoaks, politisasi SARA, dan ujaran kebencian.(ris)