Mataram (Suara NTB) – Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB menerima adanya laporan dari warga di Sekotong terkait adanya ternak yang mati. Ternak sapi yang mati diduga meminum air sungai yang terkontaminasi zat kimia yang dipergunakan penambang ilegal di Sekotong.
“Ada laporan sapi yang mati. Memang saya tidak lihat fakta di depan mata saya. Ada yang melapor ke saya, jika ada satu sapi yang mati di sana. Sapi ini berada di bagian hilir daripada lokasi pengolahan. Namun, apakah sapi yang mati ini disebabkan zat kimia yang dipergunakan, semuanya tergantung ahli yang ditanya,” ujar Pelaksana Harian (Plh) Kepala DLHK Provinsi NTB Mursal, S.P., M.Si., pada Suara NTB, kemarin.
Diakuinya, pihaknya langsung menerjunkan Tim Penyidik PPID untuk memeriksa ahli yang langsung berkaitan dengan kejadian di lapangan. “Ahli kami yang sudah diperiksa 3 orang, termasuk Kepala KPH Pelangan Tastura itu sudah diperiksa tim sebagai saksi. Kemudian Ahli Lingkungan sama Ahli Peta,” ungkapnya, seraya meminta menunggu hasil temuan tim di lapangan.
Pihaknya juga mengingatkan bahayanya penggunaan zat kimia dalam operasional tambang yang tidak sesuai prosedur. Menurutnya, jika aktivitas tambang lebih banyak dilakukan di bagian yang lebih tinggi, sehingga dikhawatirkan ketika terjadi hujan zat-zat kimia tersebut dibawa arus ke sungai, sumur warga, termasuk pada tanaman yang ditanam warga.
Ditegaskannya, apa yang dilakukan tim di lapangan bukan saja terhadap pelaku penambang yang beroperasi tanpa izin tetapi juga praktik yang dilakukan itu memiliki potensi bahaya dari sisi limbah yang ditinggalkan, seperti mercuri, sianida. Mursal mencontohkan, jika selama ini merkuri atau sianida fungsinya memisahkan emas dengan bahan yang melekat, seperti tanah atau batuan.
Fakta di lapangan, ungkapnya, tempat terjadinya illegal mining itu adalah di puncak bukit Lendek Bare. Lendek bare ada di ketinggian dengan sebelah selatan ada pemukiman penduduk, sebelah utara lebih ramai lagi, sehingga dikhawatirkan ketika hujan turun sisa-sisa limbah merkuri itu akan terbawa ke area pemukiman.
‘’Di situ ada air sumur, ada air minum, ada ternak, ada masyarakat dan memberikan dampak yang berbahaya. Jadi dampak dari pada merkuri itu. Yang pertama adalah kemandulan. Jadi itu kan tidak bisa dijustifikasi oleh sebab daripada merkuri. Tetapi dampak pertama yang terjadi dalam kandungan merkuri yang rendah, akan terjadi kemandulan pada pria maupun wanita,’’ terangnya.
Apalagi nanti limbah merkuri itu terbawa ke aliran sungai dan laut yang masuk ke dalam tubuh ikan dan ikan ini dikonsumsi oleh manusia. Jika ini dikonsumsi manusia, maka dampak yang ditimbulkan bisa membahayakan kesehatan manusia dalam jangka panjang.
Menurutnya, dari aktivitas kegiatan pertambangan yang dilakukan, apalagi pertambangan ilegal potensi kehilangan negara menurut perhitungan KPK sebesar Rp1,08 triliun setiap tahun. Apalagi di lokasi itu ada kurang lebih 5 hektar yang sudah terbuka dan menjadi lahan bagi kalangan tertentu dalam melakukan aktivitas petambangan.
‘’Sebenarnya orang orang Sekotong itu marah dengan operasi ini. Emas mereka yang seharusnya mereka dapat manual diambil sama pihak-pihak yang melakukan penggalian dengan cara ilegal. Yang kedua secara lingkungan dirugikan. Ketiga mereka tidak bebas bepergian di kawasan hutan lindung. Bahkan, petugas yang akan menerbangkan drone untuk rehabilitasi hutan menentukan lahan yang mana dilarang. Jadi ndak bebas lagi orang-orang mau ke mana,’’ ungkapnya. (ham)