Mataram (Suara NTB) – Anggota Komisi IX DPR RI, H. Muazzim Akbar meminta kepada Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) untuk membuka moratorium pengiriman PMI ke negara-negara Timur Tengah. Sebab sejak tahun 2015 lalu hingga saat ini, moratorium itu belum dibuka. Padahal selama ini banyak masyarakat yang ingin bekerja di Arab Saudi dan negara kawasan Timur Tengah lainnya.
Anggota DPR RI Dapil NTB-2 ini mengatakan, meningkatkan angka devisa menjadi salah satu program pemerintah saat ini. Jika pada tahun 2023 kemarin, devisa dari PMI mencapai angka Rp260 triliun, maka di tahun ini diharapkan angkanya lebih besar. Tentu hal itu bisa diraih jika kebijakan penempatan PMI dilakukan penyesuaian serta aspek perlindungan tetap menjadi perhatian.
“Kalau ada beberapa keputusan Menteri kemarin terkait dengan moratorium penempatan ke Timur Tengah yang sejak 2015 sampai sekarang belum dibuka, silahkan dibuka. Ini untuk mendatangkan devisa seperti apa yang diharapkan oleh pemerintah di bawah Presiden Prabowo,” kata Muazzim Akbar kepada Suara NTB, Sabtu, 9 November 2024.
Ketua DPW PAN NTB ini mengaku sudah berkomunikasi langsung dengan Menteri P2MI agar kebijakan moratorium ke Timur Tengah melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015 tersebut segera dicabut. Sebab Kepmenaker tersebut juga bertentangan dengan UU No.39 Tahun 2004 sudah direvisi menjadi UU 18 Tahun 2017.
“Dan Insya Allah kalau itu dibuka khususnya masyarakat NTB, Jawa Barat yang memang mayoritas berniat bekerja ke luar negeri khususnya ke Timur Tengah ini Insya Allah akan segera dikomunikasikan untuk segera dibuka,” ujarnya.
Sementara itu Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding membuka wacana untuk kembali mengizinkan pengiriman PMI ke Arab Saudi. Penghentian sementara ini dilakukan sejak 2015 melalui Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah. Penghentian dilakukan karena kasus kekerasan yang dialami pekerja migran.
Dilansir dari Antara, Karding mengatakan dengan penerapan moratorium saat ini penyelundupan tenaga kerja malah terjadi. “Harus dibuka, karena kalau tidak dibuka tetap berangkat juga (PMI non-prosedural), jadi kita buka tapi diperketat,” kata Karding, Sabtu, 9 November 2024.
Ia mengatakan saat ini pencabutan moratorium ini masih dalam kajian dan evaluasi. Jika nanti jadi dibuka ia mengingatkan aturan ketat akan diberlakukan untuk mencegah kasus penyelundupan tenaga kerja dan untuk melindungi pekerja.
Selain itu, Kementerian PPMI juga sedang mengkaji dan menyelesaikan aturan mengenai mekanisme sistem pekerjaan bagi para pekerja migran Indonesia. Termasuk soal penetapan upah yang harus diterima pekerja dan kemampuan dasar seperti bahasa.
“Termasuk Bahasa, soal salary atau upah sebesar 1.500 riyal, atau kalau dirupiahkan itu kisaran Rp7,5 juta,” ujarnya.
Kadir juga menambahkan, pengkajian moratorium PMI untuk Arab Saudi dilakukan atas banyaknya minat warga negara Indonesia untuk bekerja di negara tersebut. Selain bekerja, tentu beribadah di kota suci bagi pekerja muslim Indonesia jadi kelebihan tersendiri.
“Karena Muslim banyak yang berpandangan, Madinah, Mekah, berdoa disana luar biasa. Orang Indonesia cita-cita utama ke Arab, terutama di NTB itu tidak mau kalau tidak ke Arab, motifnya lebih keinginan beribadah,” kata Karding.(ris)