KEBIJAKAN menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 12 persen oleh Kementerian Keuangan RI disayangkan oleh akademisi. Pasalnya, dengan meningkatnya PPN ini akan berpengaruh pada meningkatnya harga barang, sehingga berpotensi pada peningkatan angka kemiskinan.
Pengamat Ekonomi Universitas Mataram (Unram), Dr. M. Firmansyah menyatakan kenaikan PPN ini akan berdampak pada semua aspek. Termasuk dengan peningkatan kemiskinan, PHK, hingga menyebabkan banyak pengangguran.
Menurutnya, menaikkan PPN hingga 12 persen tidak hanya berdampak pada konsumen, tetapi juga kepada produsen sebagai pembuat produk.
“Dampaknya tentu dirasakan oleh konsumen yang pertama, yang kedua oleh produsen. Konsumen kan merasa berat dengan kenaikan harga itu. Imbasnya ya ke produsen atau pengusaha yang menghasilkan produk,” ujarnya saat dihubungi Ekbis NTB, Minggu, 1 Desember 2024.
Apalagi dengan kondisi perekonomian daerah NTB yang belum stabil. Yang mana daya beli masyarakat tidak begitu tinggi. Sehingga dengan menaikkan pajak akan berdampak pada semakin merosotnya daya beli masyarakat.
“Dari aspek daerah sejak kenaikan harga terkait dengan daya beli. Kalau daya beli rendah masyarakat tidak akan mampu memenuhi sebagian kebutuhannya, kemiskinan akan meningkat,” katanya.
Firmansyah menyatakan, Pemerintah Pusat harus memikirkan dampak yang disebabkan oleh kenaikan pajak ini. Jika memaksa harus dinaikkan, maka akan sangat berdampak pada kaum menengah sebagai konsumen.
“Daya beli menurun dari segi ekonomi. Jadi inilah yang dikhawatirkan khususnya untuk kalangan menengah. Kalangan menengah kan yang mungkin intensitas transaksinya cukup banyak di lapangan,” ucapnya.
Adapun menurutnya, jika kebijakan ini tidak bisa ditunda, maka pemerintah harus bisa memberikan pelayanan yang layak kepada masyarakat. Seperti pelayanan yang diberikan oleh beberapa negara maju, sehingga, masyarakat tidak hanya membayar PPN tinggi, tetapi juga bisa merasakan dampak dari pemungutan pajak tersebut.
Diungkapkan Firmansyah, menaikkan PPN menjadi 12 persen merupakan angka yang cukup tinggi untuk sekelas negara berkembang di ASEAN. Apalagi dengan kondisi perekonomian sekarang yang dinilai belum stabil pasca Covid-19 dan gempa Lombok tahun 2018 lalu.
“Kebijakan ini kalau dibarengi dengan kebijakan lain yang bisa menyeimbangkan stabilisasi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga saya kira engga ada masalah. Cuma saat ini kan kita tahu kondisinya lagi susah, tambah dinaikkan lagi dari PPN, ini yang dikhawatirkan benar-benar merosot daya beli,” jelansya. (era)