spot_img
Senin, Januari 13, 2025
spot_img
BerandaPENDIDIKANGaungkan Perlawanan Kekerasan Seksual, Formasi Ummat Komitmen Putus Mata Rantai Reviktimisasi di...

Gaungkan Perlawanan Kekerasan Seksual, Formasi Ummat Komitmen Putus Mata Rantai Reviktimisasi di Dunia Pendidikan

Mataram (Suara NTB) – Dalam upaya mengatasi maraknya kekerasan seksual di dunia pendidikan, Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat) melalui Forum Mahasiswa Bidikmisi (Formasi) gelar dialog publik bertajuk “Problematika dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan: Reviktimisasi dan Perlindungan Generasi Muda”. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk menguraikan langkah-langkah pencegahan dan solusi bersama dalam menangani isu kekerasan seksual di dunia pendidikan. Dialog publik itu digelar di Auditorium H. Anwar Ikraman, Kamis, 2 Januari 2025.

Ketua Panitia, Mulyani, menyoroti peningkatan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan. “Beberapa tahun terakhir, kekerasan seksual menjadi ancaman serius, terutama di lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan berkembang. Melalui dialog ini, kami ingin memberikan ruang diskusi yang konstruktif untuk membahas solusi bersama,” ujarnya dengan penuh semangat.

Ketua Umum Formasi, Soalihin, menekankan pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual sebagai tanggung jawab bersama. “Generasi muda harus dipupuk dengan nilai-nilai positif dan dilindungi dari ancaman kekerasan seksual. Kekerasan ini berdampak buruk, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara psikis. Kita semua bertanggung jawab untuk menghentikan mata rantai kekerasan ini,” tegasnya.

Ia juga berharap hasil dari dialog ini dapat menjadi rekomendasi konkret untuk memberantas kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Kepala Biro Kemahasiswaan dan Alumni (BKA) Ummat, Drs. Amil, M.M., yang menekankan pentingnya sinergi antara kampus, mahasiswa, dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. “Kampus harus menjadi pelopor dalam pencegahan kekerasan seksual dengan menyediakan kebijakan, edukasi, dan layanan yang mendukung para korban,” katanya.

Ia juga menyoroti relevansi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menjadi landasan hukum bagi institusi pendidikan untuk mengambil langkah aktif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

“UU TPKS memberikan kerangka hukum yang jelas bagi kampus untuk melindungi mahasiswanya. Dengan adanya payung hukum ini, kita dapat bekerja sama lebih baik untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung pendidikan yang berkualitas,” ungkapnya.

Ia berharap kampus-kampus di Indonesia, termasuk Ummat, dapat terus meningkatkan kesadaran dan edukasi mengenai isu ini, sekaligus menjadi zona aman bagi generasi muda untuk belajar dan berkembang.

Dialog publik ini menghadirkan pembicara-pembicara kompeten dari berbagai bidang, yakni: Joko Jumadi, Ketua Lembaga Pencegahan Kekerasan Seksual Universitas Mataram, yang memaparkan pentingnya edukasi preventif.

“Masyarakat sering kali tidak sadar bahwa tindakan tertentu dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Oleh karena itu, perlu ada sosialisasi terus-menerus tentang apa yang termasuk kekerasan seksual dan bagaimana mencegahnya,” jelasnya.

Menurut Joko Jumadi, kekerasan seksual dapat dipecah ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Pelecehan Verbal, Melibatkan ucapan, komentar, atau candaan bernada seksi yang memberi seseorang. “Banyak yang tidak menyadari bahwa ucapan bernada seksi, meski terkesan hanya bercanda, sebenarnya bisa berdampak besar pada korban,” ujar Joko.

2. Pelecehan Non-Verbal, Seperti isyarat tubuh, pandangan tidak senonoh, atau tindakan yang mengandung unsur seksual tanpa persetujuan korban. “Hal ini sering terjadi di lingkungan pendidikan, namun jarang dilaporkan karena dianggap hal sepele,” tambahnya.

3. Kekerasan Fisik, Meliputi pemaksaan sentuhan hingga tindakan seksual menggunakan kekerasan atau ancaman. “Ini merupakan bentuk kekerasan yang paling nyata dan sering kali meninggalkan trauma mendalam pada korban,” ungkapnya.

4. Eksploitasi Seksual, Pemanfaatan seseorang untuk tindakan seksual dengan tekanan, ancaman, atau ketergantungan tertentu. “Contohnya adalah pemaksaan untuk memenuhi kebutuhan seksual dengan keseimbangan nilai akademik atau keuntungan lain,” jelasnya.

5. Reviktimisasi, Situasi di mana korban kembali menjadi sasaran kekerasan atau diskriminasi akibat penanganan kasus yang tidak sensitif. “Korban sering kali merasa tidak mendapat dukungan yang layak dan malah menyalahkan atas apa yang menimpa mereka,” katanya.

Joko Jumadi juga menegaskan bahwa penanganan kekerasan seksual memerlukan upaya kolaboratif. Kampus, mahasiswa, dan masyarakat harus bahu-membahu untuk menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi generasi muda dari ancaman kekerasan seksual.

Sementara itu, perwakilan dari Polda NTB, AKBP Ni Made Pujewati, S.I.K, M.M, memberikan panduan praktis terkait pelaporan kasus kekerasan seksual dan prosedur hukum yang dapat ditempuh oleh korban. “Kami di kepolisian terus mendorong keberanian untuk melapor dan memastikan bahwa perlindungan bagi mereka menjadi prioritas,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa kepolisian memiliki mekanisme perlindungan yang terstruktur untuk melindungi korban dari intimidasi atau ancaman lebih lanjut. “Pelaporan dapat dilakukan secara langsung atau melalui platform digital yang kami sediakan untuk memudahkan akses bagi korban. Kami juga menyediakan pendampingan hukum serta psikologis bagi mereka yang membutuhkan,” jelasnya.

Dialog ini mendapat respons positif dari peserta yang hadir. Banyak mahasiswa yang merasa bahwa isu kekerasan seksual perlu dibahas lebih mendalam dan menjadi perhatian utama, terutama di tahun-tahun mendatang.

Salah satu peserta, Dian Fadilah, mahasiswa FKIP Ummat, menyampaikan harapannya, “Semoga kampus, aparat berwajib dan masyarakat semakin peduli terhadap masalah ini, karena kekerasan seksual tidak hanya merusak korban, tetapi juga generasi masa depan.” imbuhnya.

Sebagai penutup, Soalihin, menyampaikan harapan besarnya terhadap keberlanjutan gerakan ini. “Kami berharap dialog ini menjadi awal dari perubahan nyata. Kita semua harus berkomitmen untuk memberantas kekerasan seksual dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi generasi muda,” ujarnya.

Dengan terselenggaranya dialog publik ini, Formasi berharap dapat menginspirasi langkah-langkah konkret dalam memutus mata rantai kekerasan seksual, tidak hanya di lingkungan Ummat, tetapi juga di seluruh dunia pendidikan. (ron)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -


VIDEO