spot_img
Senin, Januari 6, 2025
spot_img
BerandaNASIONALKeputusan MK Dinilai akan Jadikan Politik Lebih Inklusif

Keputusan MK Dinilai akan Jadikan Politik Lebih Inklusif

Surabaya (Suara NTB) – Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana SH.,MH., mengemukakan keputusan Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebagai langkah penting untuk membuka ruang politik yang lebih inklusif bagi calon pemimpin bangsa.

Satria di Surabaya, Jumat, mengatakan dihapusnya presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tersebut merupakan angin segar bagi demokrasi Indonesia.

“Ambang batas 20 persen sebelumnya mengeksklusi ruang politik bagi kandidat potensial. Akibatnya, calon presiden sering kali muncul atas kehendak partai politik, bukan murni atas keinginan masyarakat,” kata Dekan Fakultas Hukum UM Surabaya tersebut.

Dengan penghapusan aturan ini, Satria berharap ruang bagi calon presiden akan semakin luas. Keputusan MK ini juga menunjukkan bahwa lembaga tersebut semakin berpihak pada kepentingan publik dan memperkuat supremasi hukum di Indonesia.

Namun, ia juga mengingatkan adanya tantangan ke depan, salah satunya adalah potensi meningkatnya polarisasi politik mengingat setiap partai kini memiliki peluang mencalonkan presiden.

“Demokrasi kita masih dalam tahap pendewasaan. Berbeda dengan sistem di Amerika Serikat yang memiliki dua partai utama, sistem multipartai kita memberikan peluang besar untuk mencalonkan presiden. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri,” ujarnya.

Satria menekankan pentingnya memastikan bahwa proses pencalonan presiden benar-benar mencerminkan kehendak masyarakat, baik melalui konvensi partai politik maupun mekanisme lain yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Harapannya, keputusan MK ini bisa diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Pemilu yang lebih mendukung inklusivitas sehingga pemilu mendatang tidak hanya didominasi oleh elit politik tertentu, tetapi juga melibatkan masyarakat secara luas,” ucapnya.

Selain itu, ia mengatakan keputusan MK ini menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi Indonesia, meski masih membutuhkan pengawasan dan penerapan yang konsisten di masa mendatang.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.

Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD RI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

Akan Dibahas

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan bakal membahas ketentuan jumlah pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan atau “Presidential Treshold”.

Jangan sampai, kata dia, jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden terlalu banyak akibat putusan tersebut, hingga justru menyebabkan kontraproduktif bagi kualitas demokrasi di Indonesia.

“Kami memahami keputusan MK itu bersifat final and binding, final dan mengikat. Kami akan membicarakannya dengan pemerintah terkait dengan tindak lanjut putusan MK,” kata Rifqinizamy saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 3 Januari 2025.

Menurut dia, inti dari putusan MK itu berisi dua hal, yaitu mengenai penghapusan “Presidential Treshold” atau ambang batas pencalonan menjadi 0 persen, dan mempersilakan DPR dan Pemerintah untuk membentuk norma baru.

Dia mengatakan rekayasa konstitusi diperlukan agar norma yang dirancang untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait syarat pencalonan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tak menimbulkan liberalisasi demokrasi atas sistem presidensial yang kini terjadi.

Pembahasan antara DPR dan Pemerintah tentang ketentuan jumlah calon presiden itu akan digelar setelah masa reses di awal tahun 2025. Masa Reses I Tahun Sidang 2024-2025 DPR RI telah dimulai sejak tanggal 6 Desember 2024 hingga berakhir pada 20 Januari 2025. (ant)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -


VIDEO