spot_img
Kamis, Januari 16, 2025
spot_img
BerandaPOLHUKAMWayan Sumade Yasa: Dari Jeruji Besi Menjadi Pembatik Tulis Karya Budaya Lombok

Wayan Sumade Yasa: Dari Jeruji Besi Menjadi Pembatik Tulis Karya Budaya Lombok

Lombok Barat (suarantb.com) – Kehidupan di balik jeruji sering diasosiasikan dengan keterbatasan dan putus asa. Namun, stigma tersebut tidak berlaku bagi Wayan Sumade Yasa, seorang narapidana asal Abian Tubuh, Kota Mataram. Meski terpenjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Lombok Barat, pria ini justru menemukan jalan untuk berkarya, mengubah masa depan, dan memberi inspirasi bagi sesama.

Menemukan Potensi di Dalam Lapas

Pada awal 2023, Wayan bergabung dengan kelompok batik tulis di lapas, sebuah langkah yang kemudian mengubah hidupnya. Berkat hobi menato yang dimilikinya, Wayan kini dipercaya oleh Lapas Kelas IIA Lombok Barat sebagai mentor membatik, sekaligus membimbing 12 warga binaan lainnya dalam mengembangkan seni batik tulis.

Karya batik tulis yang dihasilkan oleh Wayan dan kelompoknya memiliki ciri khas budaya lokal Pulau Lombok. Dengan corak seperti Bale Lumbung, Cicak, Putri Nyale, Peresean, Gendang Beleq, dan Sirkuit Mandalika, batik tulis mereka kini menjadi salah satu produk seni yang memiliki daya tarik besar di pasaran.

Membatik Sebagai Media Ekspresi Diri

Bagi Wayan, membatik lebih dari sekadar cara untuk mengisi waktu selama menjalani hukuman. Baginya, batik adalah sarana untuk mengekspresikan diri dan membangun harapan baru untuk masa depan. “Membatik tidak butuh keahlian khusus, yang penting mau belajar. Siapa pun bisa melakukan (hal baru), kalau memang ada niat mau belajar, pasti bisa,” ujarnya, memberikan pesan penting tentang semangat untuk terus belajar dan berkarya.

Menghadapi Tantangan dan Kepercayaan

Pada Mei 2023, tepat pada perayaan Hari Bhakti Pemasyarakatan Ke-59, kelompok batik tulis binaan Lapas Kelas IIA Lombok Barat mendapat kesempatan besar: sebuah pesanan khusus dari Lalu Gita Ariadi, yang saat itu menjabat sebagai Pj. Gubernur NTB. Pesanan tersebut termasuk corak Gendang Beleq dan Putri Nyale, serta pesanan khusus sebanyak 140 lembar batik tulis dengan corak Sirkuit Mandalika.

Dengan waktu yang terbatas, kurang dari dua minggu, Wayan dan kelompoknya harus bekerja keras. Mereka bekerja lembur, bergiliran hingga larut malam, dan berhasil menyelesaikan seluruh pesanan dalam waktu hanya 8 hari. Kerja keras ini mendapat apresiasi tinggi, terutama ketika batik tulis hasil karya mereka dikenakan oleh Gita Ariadi dan istrinya, Lale Prayatni Gita, di Istana Negara pada peringatan Hari Batik Nasional, 1 Oktober 2023.

Dari Lapas ke Istana Negara

Penampilan Gita Ariadi dan istrinya yang mengenakan batik tulis karya Wayan dan kelompoknya di Istana Negara memukau banyak hadirin. Banyak yang tertarik dengan keunikan batik tersebut dan bertanya tentang asal-usulnya. Miq Gita, sapaan akrab Lalu Gita Ariadi, dengan bangga memperkenalkan batik tulis itu sebagai karya dari kelompok binaan Lapas Kelas IIA Lombok Barat.

Tidak hanya di Istana Negara, batik tulis bercorak Sirkuit Mandalika yang dipesan dalam jumlah besar juga dibagikan kepada pejabat-pejabat penting di acara tersebut, memperkenalkan lebih jauh karya seni dari balik jeruji Lapas Kelas IIA Lombok Barat ke seluruh Indonesia.

Sebuah Pelajaran tentang Perubahan

Kisah Wayan Sumade Yasa mengajarkan bahwa tidak ada yang dapat membatasi seseorang untuk berkarya. Bahkan, di dalam keterbatasan, seseorang bisa menemukan potensi dan meraih perubahan diri. Wayan, yang dulu terperangkap dalam kesalahan hidup, kini mampu melihat masa depan yang lebih cerah berkat tekad untuk belajar dan berkarya.

Wayan dan kelompoknya adalah contoh nyata bahwa kreativitas dan semangat untuk berubah tidak mengenal batas, baik itu dalam ruang penjara atau dunia luar. Mereka telah membuktikan bahwa dengan niat dan usaha, setiap individu memiliki peluang untuk meraih kesuksesan, bahkan di tempat yang paling terbatas sekalipun. (*)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -


VIDEO