Mataram (Suara NTB) – Bank Perekonomian Syariah (BPRS) Dinar Ashri atau Bank Dinar bahkan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) boleh berbangga. Bank yang lahir, tumbuh dan berkembang di Kota Mataram ini menjadi salah satu stakeholder di Indonesia yang diajak berdiskusi oleh Kementerian BPN/Bappenas dalam konteks penajaman penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang RRPJN 2025-2045, yang salah satunya memuat arah kebijakan jangka panjang untuk penguatan keuangan syariah sebagai sumber pembiayaan dalam rangka mendukung perekonomian nasional, Kementerian PPN/Bappenas tengah menyusun RPJMN 2025-2045, termasuk di dalamnya arah kebijakan jasa keuangan syariah.
Dalam rangka mempertajam substansi arah kebijakan keuangan syariah dalam RPJMN 2025-2029 ini, Bappenas menggelar FGD (Forum Group Diskusi) dengan berbagai stakeholders terkait di Indonesia, salah satu pilihan Bappenas adalah Bank Dinar di NTB.
FGD Bappenas dengan Bank Dinar berlangsung pada Senin, 9 Desember 2024Â di Kantor Pusat PT BPRS Dinar Ashri di Jalan Sriwijaya Nomor 394 Blok X- XI. Direktur Jasa Keuangan dan BUMN Kementerian BPN/ Bappenas, Rosy Wediawaty dan tim berdiskusi langsung dengan Mustaen, Direktur Utama Bank Dinar, komisaris, beserta jajaran. Topik diskusinya terkait Penajaman Arah Kebijakan Keuangan Syariah dalam RPJMN 2025-2029.
FGD ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai perkembangan Bank Dinar di Provinsi NTB. Menggali skema-skema pembiayaan syariah yang telah diimplementasikan oleh Bank Dinar. Mendapatkan informasi mengenai upaya pengembangan BPRS, kendala-kendala utama yang dihadapi BPRS serta rencana BPRS ke depan pasca implementasi UU P2SK. Serta menggali usulan dan rekomendasi kebijakan terkait penguatan BPRS di Indonesia kedepan.
Diketahui, pertumbuhan Bank Dinar pada rentang waktu 2017-2024 selama 8 tahun sangat positif. Pada tahun 2016, nilai asset Bank Dinar Rp176,7 miliar, tumbuh menjadi Rp1,468 triliun pada tahun 2024, atau tumbuh 730,78 persen. Pada periode yang sama, pembiayaan juga tumbuh dari Rp129,5 miliar menjadi Rp1,212 triliun , tumbuh 835,58 persen.
Dana Pihak Ketiga (DPK) berupa tabungan, deposito dan giro dari Rp123,3 miliar menjadi Rp1,080 triliun atau tumbuh 776,50 persen.Non Performing Financing (NPF) atau kredit macet, dari 2,47 persen turun menjadi 0,59 persen. Laba, dari Rp5 miliar, tumbuh menjadi Rp32,5 miliar. Sementara modal inti, dari Rp23,9 miliar juga tumbuh menjadi Rp146,9 miliar.
Jika dilihat dari kinerja tahun 2023 ke tahun 2024, asset Rp1,2 triliun tumbuh menjadi Rp1,4 triliun. Pembiayaan dari Rp946 miliar tumbuh menjadi Rp1,2 triliun. Pendanaan, dari Rp912,4 miliiar tumbuh menjadi Rp1,080 triliun. Laba dari Rp30 miliar tumbuh menjadi Rp37,6 miliar. Sementara kredit rasio pembiayaan bermasalah turun dari 1,07 persen turun menjadi 0,59 persen.
Saat FGD dengan Bappenas, Direktur Utama Bank Dinar, Mustaen memaparkan strategi, kebijakan yang telah dilaksanakan di Bank Dinar hingga bank ini tumbuh menjadi salah satu BPRS terbaik di Indonesia. Sekaligus diusulkan 15 poin yang bisa dijadikan pertimbangan oleh Bappenas dalam penyusunan RPJMN.
Usulan tersebut di antaranya :
- Agar pemerintah memperlakukan bank swasta dan pemerinta secara adil, baik dalam program pendanaan maupun pembiayaan. Janagan hanya, saat urusan beban terkait negara, pemerintah melibatkan semua bank. Namun, saat bantuan dana, penyaluran dana, penyimpanan dana, pemerintah hanya bank pemerintah (Bank BUMN) saja.
- Agar BPR/BPRS dengan persyaratan tertentu dapat melakukan pembayaran gaji/tunjangan ASN.
- Adanya produk hukum yang memayungi industri perbankan dan perpajakan, sehingga agenda pembangunan ekonomi nasional dapat berjalan sesuai rencana, dan tidak disalahgunakan oleh oknum pajak.
- Agar OJK mencabut POJK terkait Asuransi dan Penjaminan yang mengharuskan Perbankan menanggung risiko minimal 25%.
- Agar BPRS dengan ukuran aset tertentu dan Tingkat Kesehatan tertentu, misalnya aset > Rp1 triliun, di ikutkan dalam penyaluran program pembiayaan perumahan FLPP.
- Agar perizinan lalulintas pembayaran cukup sampai di OJK, tidak melibatkan BI lagi, sehingga memudahkan perizinan dan tidak perlu lintas instansi.
- Agar pemerintah lebih serius mengurus kepastian hukum sehingga jalannya bisnis tidak berbiaya tinggi dan tidak di manfaatkan oleh oknum tertentu.
- Untuk daerah penghasil tambang agar diberikan minimal 20% hasil tambang untuk membangun daerah tersebut contohnya, di NTB.
- Dibentuknya Badan Penyangga Harga (BPH) yang dibiayai APBN untuk produk unggulan masing-masing daerah.
- Pemerintah agar mendorong OJK untuk menghapus batasan-batasan Gadai Emas Syariah yang ada di Bank Syariah (terutama Batasan Portofolio dan batasan modal inti), dan menyerahkan ke mekanisme pasar, serta mengizinkan Kantor Kas BPRS menjual dan memproses pembiayaan berisiko rendah.
- Agar BPR/BPRS dengan ukuran dan tingkat kesehatan tertentu dapat menyimpan dana di Bank Indonesia.
- Agar BPR/BPRS dengan ukuran dan persyaratan tertentu dapat menerbitkan Giro dan Cek.
- Tarif PPH untuk UMKM ditetapkan maksimal 0,5% dari omzet.
- BPRS dengan aset di atas Rp1 triliun agar diperbolehkan membuka kantor cabang di luar teritori sebagaimana ditetapkan OJK.
- Dana bergulir pemerintah (jika ada) yang disalurkan ke UMKM, diusulkan melalui BPRS dengan skema Back to Back.
Mustaen juga menyampaikan apresiasi tinggi dan terimakasih, atas kepercayaan Kementeran BPN/Bappenas yang melibatkan Bank Dinar dalam penyusunan RPJMN.
Sementara itu, dalam petikan surat resmi Kementerian BPN/Bappenas Nomor: 23376/Dt.1.3/PP.04.05/11/2024, 21 November 2024 yang dikirim kepada Bank Dinar dalam rangka FGD, disampaikan bahwa, RPJMN 2025-2029 merupakan tahapan pertama dalam implementasi Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJMN 2025-2045.
Sasaran pembangunan dalam RPJMN 2025-2029 diharapkan dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia yang  berkualitas dan berdaya saing. Terlebih lagi, terdapat optimisme pertumbuhan ekonomi mencapai 8% pada tahun 2028-2029.
Untuk mendukung tercapainya optimisme tersebut, diperlukan peran sektor keuangan yang dalam. Dengan sektor keuangan yang dalam, negara akan memiliki pondasi yang kuat untuk melaksanakan berbagai rencana pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, menarik investasi, dan mengalokasikan sumber daya secara efektif dan efisien.
Saat ini, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stabil pada kisaran 5-6  persen sejak tahun 2005, hingga sempat masuk kategori upper-middle income pada tahun 2019. Namun kembali ke kategori lower-middle income pada tahun 2020 yang disebabkan oleh  terkontraksinya pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,07 persen dipicu oleh pandemi Covid-19. Pasca pandemi, perlahan ekonomi Indonesia bangkit dan tumbuh positif kembali secara perlahan, sehingga dapat kembali lagi menjadi kategori negara upper-middle income pada tahun 2022.
Dengan perkembangan positif tersebut, Indonesia masih belum mampu lepas dari middle income trap, sehingga berbagai potensi dan tantangan harus dioptimalkan dan dihadapi, seperti  bonus demografi, perubahan teknologi yang cepat, perubahan iklim, serta berbagai isu  pembangunan lainnya. Jika berbagai potensi yang dimiliki dapat dioptimalkan dengan baik.
Indonesia diperkirakan dapat menjadi negara maju pada tahun 2045, dengan pendapatan per  kapita mencapai Rp 27 juta per bulan. Bahkan saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan ke- 100, pemerintah telah menargetkan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai US$7 triliun. Namun demikian, pencapaian target di atas bukanlah pekerjaan yang mudah, dan perekonomian harus dijaga on the right track untuk mencapai target tersebut. Indonesia memiliki kapasitas besar untuk tumbuh tinggi dan lebih inklusif, sebagaimana disyaratkan untuk menjadi negara maju.
Salah satu upaya untuk meningkatkan aktivitas perekonomian dengan lebih cepat adalah melalui dukungan sektor keuangan baik konvensional maupun syariah. Sektor keuangan baik  bank maupun non bank diibaratkan sebagai darah yang mampu menggerakkan sebuah negara  untuk dapat mencapai kemajuan secara berkelanjutan.
Sayangnya, peranan sektor keuangan di Indonesia masih cukup dangkal. Menurut data Bank Dunia (2021), rasio M2 terhadap PDB di Asia Timur dan Pasifik mencapai 215% pada 2023. Â Angka tersebut jauh dari level yang ada di Indonesia, hanya 42,2%. Sementara itu, rasio kedalaman sektor keuangan di Thailand mencapai 142,2%; Malaysia (124%); dan Tiongkok (227,9%). Dangkalnya sektor keuangan di Indonesia disebabkan oleh masih terbatasnya variasi instrumen pembiayaan dan basis sumber pendanaan, belum optimalnya fungsi intermediasi, serta terbatasnya inklusi dan literasi keuangan.
Dangkalnya sektor keuangan Indonesia telah mendorong upaya reformasi sektor keuangan mengingat tingginya urgensi dalam meningkatkan peranan intermediasi dan memperkuat resiliensi sektor keuangan. Reformasi sektor keuangan tersebut tercermin dengan disahkannya Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan  Sektor Keuangan (P2SK). Dengan demikian, diharapkan dapat mencapai sektor keuangan yang  dalam, inovatif, efisien, inklusif, dan stabil, tentunya dengan dukungan dan kolaborasi berbagai  stakeholders baik di level pusat maupun daerah.
Dengan disahkannya UU P2SK tahun 2023 telah membawa beberapa perubahan signifikan termasuk sektor keuangan syariah. Salah satunya perubahan nama dan kewenangan  pada industri Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah berganti nama menjadi Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).
Dalam UU P2SK, BPRS diberikan kesempatan yang lebih luas dari aspek permodalan, pengembangan produk dan layanan, serta perluasan aktivitas yang dapat dilakukan oleh BPRS. Dalam 5 tahun terakhir, aset BPRS nasional menunjukkan tren yang selalu meningkat dari sebelumnya sebesar Rp 13,76 triliun pada tahun 2019 menjadi sebesar Rp23,18 triliun pada tahun 2023. Namun demikian, BPRS yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia tergolong masih kecil dibandingkan aset pada bank umum syariah maupun unit usaha syariah. Dengan perubahan nama dan kewenangan dalam BPRS sebagaimana amanah UU P2SK, diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan aset BPRS ke depan.
Saat ini persebaran aset BPRS masih terkonsentrasi di Pulau Jawa mulai dari yang terbesar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, dan Banten. Dari ke lima provinsi tersebut, Provinsi NTBÂ mampu bersaing dan menjadi penyumbang proporsi aset BPRS terbesar ke 5 di Indonesia dengan mencapai aset sebesar Rp1,54 triliun pada Agustus 2024.
Salah satu BPRS yang perkembangannya cukup baik yaitu BPRS Dinar Ashri yang mencapai aset Rp 1,40 triliun atau menyumbang 90,34 persen dari total aset BPRS di NTB pada Agustus 2024. Dengan capaian di atas dan potensi akselerasi pertumbuhan ke depan, maka diperlukan sharing pengetahuan dan informasi dalam rangka memetakan permasalahan, tantangan dan rekomendasi kebijakan dari sudut pandang BPRS dari luar Pulau Jawa yang nantinya dapat mendukung penguatan BPRS serta berkontribusi pada pendalaman sektor keuangan syariah sebagai salah satu enabler pembangunan, dalam rangka mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur sesuai amanat RPJPN 2025-2045.(bul)