DINAS Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB mengeluarkan peta analisis Daerah Aliran Sungai (DAS) bencana banjir, baik di Lombok maupun Pulau Sumbawa tahun 2024-2025. Ini merupakan peta yang menunjukkan daerah-daerah rawan banjir di suatu daerah aliran sungai yang perlu menjadi atensi bersama.
Peta analisis DAS kejadian banjir bertujuan untuk memberikan informasi kawasan rawan banjir, membantu masyarakat untuk lebih waspada terhadap banjir, membantu perencanaan penanggulangan banjir, membantu meminimalisir terjadinya banjir, serta membantu pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pencegahan.
DAS yang dimasukkan dalam peta analisis ini meliputi DAS Selodong, DAS Sagena, DAS Mapin, DAS Sejorong, DAS Sumbawa, DAS Moyo, DAS Balambon, DAS Kawinda, DAS Tarei, DAS Campa, DAS Rontu, DAS Angi, DAS Soncona, DAS Labalaju dan DAS Pupu.
Kepala DLHK Provinsi NTB Julmansyah M.A.P mengatakan, DAS Selodong Lombok Barat memiliki luas 488 hektare dengan kapasitas tampung Daerah Tangkapan Air (DTA) 4,7 m3 per detik. Pada 2 Januari 2025 terpantau debitnya sebesar 5,5 m3 per detik. Lokasi DAS seluruhnya di luar kawasan hutan atau 100 di area penggunaan lain (APL).
“Kekritisan lahan di sekitar DAS Selodong mencapai 99 persen dan hanya 1 persen yang tak kritis. Rekomendasi penanganan lahan kritis di kabupaten seluas 485 hektare,” kata Julmansyah kepada Suara NTB, Kamis, 16 Januari 2025.
Selain DAS Selodong, DAS yang 100 persen atau sebagian besar berada di area penggunaan lain seperti DAS Soncona dengan luas 2.682 hektare. DAS seluruhnya berada di luar kawasan hutan dengan tingkat kekritisan lahan 89 persen.
DAS Angi Kabupaten Bima dengan luas 2.778 hektare juga sebagian besar atau 66 persen berada di luar kawasan hutan dengan tingkat kekkritisan lahan 91 persen. Hanya 9 persen saja kawasan DAS Angi yang tak kritis.
Sementara itu DAS Rontu dengan luas 26.636 hektare terletak di kawasan hutan sebanyak 26 persen dan kawasan APL 74 persen. Tingkat kekritisan lahan di sini sebanyak 83 persen, dan hanya 17 persen yang dalam kondisi tak kritis.
Begitu juga DAS Campa Kabupaten Bima dengan luas 39.244 hektare yang lokasinya 44 persen berada di kawasan hutan dan APL 56 persen. Tingkat kekritisan lahan juga cukup tinggi yaitu sekitar 67 persen.
Sementara DAS Moyo yang menjadi DAS terluas di NTB yaitu 81.255 hektare sebagian besar berada di APL seluas 67 persen, sementara 33 persen berada di dalam kawasan hutan. Kondisi DAS Moyo 54 persen dalam keadaan kritis.
Karena itulah dibutuhkan kolaborasi semua pihak, baik Pemprov NTB, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa dan UPT Kementerian Kehutanan untuk memperbaiki kawasan DAS, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dalam rangka memperbaiki lingkungan dan mencegah terjadinya bencana.
“Spiritnya yaitu bagaimana kolaborasi dalam rangka pemulihan lahan kritis dan ekosistem,” katanya.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, khususnya pemerintah desa untuk memperbaiki kualitas DAS dan hutan. Yang pertama yaitu perlunya program “Satu Desa Satu Demplot Agroforestry”. Ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan, sehingga potensi suksesnya lebih besar daripada pelaksanaan program dalam ruang wilayah yang luas.
Hal lain yaitu penguatan perhutanan sosial sebagai bagian dari pengembangan Land Based Economy bagi masyarakat melalui Perpres No 28 tahun 2023 Tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Perhutanan Sosial.
“Kemudian Perbub Kewenangan Lokal Berskala Desa yang memasukkan pemulihan lahan kritis milik masyarakat dan penguatan Perhutanan Sosial sebagai mandatory pemerintah desa. Ini telah sesuai dengan Permendes yang ada,” terangnya.
Dan yang terakhir perlunya pembangunan daerah berbasis landscape atau bentang lahan DAS. Ini merupakan pembangunan yang mempertimbangkan kondisi bentang alam dan fungsi DAS. Sebab DAS merupakan kawasan yang menampung dan mengalirkan air hujan, sehingga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan alam.(ris)