FENOMENA banjir yang kerap melanda sejumlah daerah di Provinsi NTB diduga disebabkan oleh alih fungsi hutan menjadi ladang jagung atau kebun lainnya. Jika dibiarkan, kejadian banjir akan terus berulang. Rehabilitasi hutan, terutama di daerah perbukitan harus segera dilakukan untuk meminimalisasi dampak bencana di masa depan.
Pemerhati lingkungan yang juga dosen Program Studi Ilmu Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Mataram, Hilman Ahyadi, M.Si., menjelaskan, fenomena banjir di Indonesia sedang merebak. Termasuk di NTB yang kondisinya semakin parah.
Alih fungsi lahan itu mulai marak dengan dimulainya program Pijar (Sapi, Jagung, Rumput Laut) pada akhir 2000-an. Masyarakat berbondong-bondong menanam jagung dengan membabat hutan demi mendulang keuntungan. Melalui program itu, masyarakat mendapatkan keuntungan ekonomi cukup besar. “Namun di sisi lain, dari Lombok Barat sampai dengan ujung Bima hutan di bukit atau pegunungan diubah jadi ladang jagung,” ujar Hilman ditemui di Mataram, pekan lalu.
Ketika semua pohon di hutan ditebang, maka tidak ada lagi penahan bergulirnya air hujan. Akar pohon yang berfungsi mengurangi kecepatan air hujan di permukaan tanah jadi berkurang karena sudah ditebang. Tidak adanya pohon juga menyebabkan tidak ada lagi akar yang berfungsi membuat pori-pori ke dalam tanah untuk menyerap air hujan. Akibatnya aliran permukaan atau run off air hujan sangat besar.
Kondisi itu akan menyebabkan erosi, sehingga ketika hujan lebat atau kecil pun, air sungai-sungai berwarna cokelat. Hal itu menjadi bukti telah terjadi erosi yang sangat tinggi.
“Erosi sangat tinggi artinya penggundulan di daerah atas, daerah daratan. Bisa kita lihat kemudian sungai-sungai ketika satu-dua jam hujan lebat, banyak airnya. Begitu selesai hujan, menjadi kering. Artinya penyerapan air ke dalam tanah oleh pohon rendah sekali,” jelas Hilman.
Kondisi itu semakin parah dengan kenyataan Pulau Lombok dan Sumbawa yang unik, karena merupakan wilayah pegunungan dan perbukitan. Sebagian besar Pulau Lombok diisi oleh deretan pegunungan dan perbukitan, terutama dengan adanya Gunung Rinjani dan kawasan sekitarnya. Artinya sebagian besar pulau Lombok merupakan dataran miring.
Dengan kemiringan wilayah yang tinggi, ketika air hujan jatuh maka daya serapnya rendah. Sebagian besar menjadi run off air. Akibatnya, daerah hilir mudah tenggelam karena banjir. Faktor itu, disebut Hilman, memperparah kondisi bencana banjir di NTB.
Lebih parahnya lagi, sebut Hilman, bukit-bukit yang mengalami alih fungsi hutan menjadi ladang menyebabkan kandungan humus di tanah menjadi tipis. Kandungan humus yang awalnya tebal, tetapi lama kelamaan menjadi tipis.
“Sudah berbentuk lereng, diterpa hujan, pasti pengikisannya tinggi, akibatnya Lombok daerah Selatan, seperti perbukitan di Kuta sampai Ekas dan wilayah sekitarnya itu tidak lagi terlihat tanah, tetapi batu, karena diubah dari hutan jadi ladang jagung,” ujar Hilman.
Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan dari praktik alih fungsi hutan menjadi ladang. Menurut Hilman, faktor ekonomi juga membuat petani berupaya mengeruk keuntungan sebesar mungkin. Dengan adanya tuntutan hidup yang semakin tinggi, termasuk dengan munculnya pinjaman atau kredit di tengah masyarakat membuat petani harus memutar otak agar mencukupi kebutuhannya.
Dampaknya, petani tidak lagi mengistirahatkan lahan selama dua atau tiga bulan ketika selesai panen. Jika tanah tidak diberikan istirahat, maka unsur hara di tanah akan tersedot. “Motivasi ekonomi kencang, tidak penting hutan atau kebun, babat habis untuk mencari rupiah lebih banyak,” sebut Hilman.
Di samping itu, lahan-lahan pertanian yang subur di daratan rendah seperti di wilayah Lombok Barat juga banyak beralih menjadi perumahan dengan adanya program kredit perumahan. Kondisi itu akan menimbulkan dampak besar ke depan, salah satunya banjir.
Jika kondisi demikian dibiarkan terus, dampaknya bencana banjir tidak hanya akan menunggu hujan lebat, hujan sedikit pun bisa menjadi pemicu banjir. Dampak dari alih fungsi hutan menjadi ladang tidak hanya berupa banjir. Dampak ke depannya yaitu terjadinya perubahan iklim dampak dari pemanasan global.
“Hutan yang paling banyak ada di hulu dan perbukitan, fungsinya untuk menyerap karbon dioksida. Jika karbon dioksida tidak terserap, maka bisa memanaskan bumi. Salah satu ciri perubahan iklim: saat musim kemarau menjadi panas dan durasinya panjang. Sedangkan kalau musim hujan, hujan sangat deras,” ujar Hilman.
Jika hutan terus dibabat, apalagi terjadi juga di kawasan Gunung Rinjani yang merupakan sumber air di Lombok maka dampaknya akan berbahaya. Tidak hanya banjir ketika musim hujan, tetapi kekeringan juga menjadi ancaman di masa depan.
“Lombok ini pulau kecil di tengah Samudra. Pulau di pinggir laut besar sering kali jarang hujan, karena angin kencang. Risikonya adalah kekeringan. Jika tidak ada hutan, tidak ada yang menahan air itu, makanya rentan mengalami kekeringan,” sebut Hilman.
Rehabilitasi Hutan
Untuk mengantisipasi dan meminimalisasi bencana banjir, rehabilitasi hutan di daerah perbukitan dan pegunungan perlu dilakukan. Menurut Hilman, pemerintah perlu membuat peraturan untuk melarang wilayah perbukitan diubah menjadi ladang.
“Perbukitan merupakan daerah penangkap hujan, dan bahaya jika dijadikan ladang karena merupakan wilayah miring. Sebaiknya menanam pohon keras di wilayah perbukitan,” sarannya.
Di samping itu, pemerintah perlu tegas menjaga alam dalam mengeluarkan kebijakan. Pemerintah perlu memperhatikan dampak ekologi dalam mengambil kebijakan.
“Misalnya bangun perumahan, secara naluriah manusia jika tidak dilarang akan memlih yang dekat di kota, dan paling banyak sumber daya alam, terutama air. Cuman problemnya, akan menimbulkan dampak besar ke depan. Sebenarnya pemerintah punya kekuasaan untuk melarang, mengimbau, mencegah, tetapi kurang berfungsi. Cenderung sekarang, pikiran utama setiap rezim adalah bagaimana mengumpulkan pendapatan sebesar-besarnya, dan cenderung mengabaikan ekologi,” pungkas Hilman. (ron)