Mataram (Suara NTB) – Gelombang pasang yang memicu abrasi menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Kota Mataram setiap tahunnya. Intervensi hanya bisa dilakukan secara tentatif atau simultan. Penanganan abrasi untuk jangka panjang diharapkan melalui intervensi pemerintah pusat.
Demikian disampaikan Walikota Mataram, Dr. H. Mohan Roliskana. Penanganan secara permanen menurut Walikota, tidak bisa dilakukan oleh Pemerintah Kota Mataram, karena membutuhkan anggaran yang besar. Tetapi langkah konrkret sudah dilakukan terutama di daerah-daerah tingkat abrasi tinggi dengan menyediakan hunian sementara (huntara) bagi warga yang terkena dampak.
Warga yang telah direlokasi ke huntara diharapkan tidak kembali ke rumah mereka, karena memiliki potensi kerugian materil. Selain itu, pemerintah pusat juga akan membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Kelurahan Bintaro. “Termasuk tahun 2025 akan dibangun satu twin blok dari DAK di Bintaro,” sebutnya.
Walikota tidak mengetahui pasti kebutuhan anggaran untuk pembangunan pemecah gelombang. Pasalnya, proposal yang diajukan ke Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia diprioritaskan bagi daerah yang tingkat abrasinya sangat tinggi.
Khusus pengalokasian yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sifatnya penanganan secara darurat. “Anggaran yang dibutuhkan cukup besar. Kalau kita hanya sifatnya penanganan kedaruratan saja,” ujarnya.
Justru, ia tidak terlalu mengkhawatirkan banjir kiriman dari hulu. Banjir kiriman itu sifatnya tidak terlalu lama dan wilayah tengah kota juga tidak memiliki dampak signifikan.
Menurutnya, prioritas yang perlu ditangani adalah banjir rob di pesisir Pantai Ampenan karena memiliki dampak secara luas bagi masyarakat di kawasan pesisir.
Dikonfirmasi terpisah, Camat Ampenan, Muzakir Walad mengatakan, berdasarkan hasil pendataan rumah warga yang terdampak banjir rob mulai dari Lingkungan Bugis sampai Lingkungan Bintaro Jaya mencapai 500 kepala keluarga lebih. Khusus di Lingkungan Bintaro Jaya dampak yang dirasakan masyarakat berupa genangan dari hempasan gelombang air laut. Satgas dan kelurahan tiga kali memompa dan membuang air kembali ke pantai. Skenario lainnya ujar Muzakir, membangun saluran mengarah ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa).
Mantan Lurah Banjar ini menegaskan, masyarakat harus direlokasi. Dari hasil assesment tahun 2019, mereka telah sepakat untuk direlokasi sehingga dibukakan kawasan baru. Salah satunya pembangunan rumah susun sederhana sewa di Lingkungan Bintaro Jaya, Kelurahan Bintaro. “Tujuan pemerintah membangun di sana mendekatkan dengan pantai atau dekat dengan mata pencaharian mereka sebagai nelayan,” jelasnya.
Butuh Anggaran Rp145 Miliar
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mataram telah menghitung kebutuhan anggaran untuk pembangunan jetty atau pemecah gelombang di sepanjang sembilan kilometer Pantai Ampenan. Diperkirakan anggaran dibutuhkan mencapai Rp145 miliar.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mataram, Lale Wediahning dikonfirmasi pada, Jumat (3/1/2025) menjelaskan, proposal pembangunan pemecah gelombang atau jetty telah diserahkan kepada pemerintah pusat dengan harapan dapat disetujui. Proposal terbaru yang diajukan setelah dilakukan perhitungan anggaran 2025 dan kenaikan harga satuan sekitar Rp145 miliar dengan asumsi sepanjang sembilan kilometer Pantai Ampenan dibangun pemecah gelombang. “Setelah kita hitung diperkirakan kebutuhan anggaran Rp145 miliar,” sebutnya.
Proposal ini diajukan ke Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia melalui Anggota DPR RI Dapil NTB 2. Artinya, setelah disetujui maka anggaran akan bergulir ke Balai Wilayah Sungai. Lale menegaskan, pembangunan jetty sangat mendesak karena abrasi di sembilan kilometer Pantai Ampenan terus terjadi setiap tahunnya. Tahun sebelumnya, pihaknya telah melobi anggaran ke Kementerian PUPR RI di era kepemimpinan Basuki Hadimuljono.
Akan tetapi, fokus anggaran di Kementerian PUPR untuk pembangunan Bendungan Meninting dan bendungan di Pulau Sumbawa. “Jadi belum ada anggaran yang berpihak untuk pembangunan jetty kita,” terangnya.
Program jangka pendek yang bisa dilakukan adalah membangun rip-rap di beberapa titik yang berpotensi menimbulkan bahaya. Pembangunan jetty tidak bisa mengandalkan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dengan kebutuhan anggarannya sangat besar. Dengan kontur pantai yang curam sehingga diprediksikan kebutuhan jetty besar dan bahan yang masuk ke dasar laut membutuhkan sangat banyak. “Perairannya kita bukan perairan yang landai,” ujarnya.
Lale berharap proposal bantuan bisa direalisasikan secepatnya, tetapi berdasarkan penganggaran saat ini sangat kecil kemungkinan dapat terealisasi di tahun 2025, karena pembahasan anggarannya telah selesai. Namun demikian, ia berharap bisa diprioritaskan melalui dana lain bukan saja APBN regular seperti dana inpres atau biaya tambahan di pemerintah pusat.
Warga Sebaiknya Direlokasi
Sejumlah 40 rumah warga di Kelurahan Bintaro, Kecamatan Ampenan terdampak gelombang pasang. Pemukiman warga mepet dengan bibir pantai. Penanganan jangka panjang sebaiknya warga direlokasi ke tempat lebih aman.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Mataram, Irwan Rahadi dikonfirmasi akhir pekan kemarin mengatakan, warga di Kelurahan Bintaro sebelumnya telah disarankan untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman. Pasalnya, pemukiman warga yang terlalu dekat dengan bibir pantai memiliki resiko kebencanaan, sehingga jangka panjang bisa saja direlokasi. “Perlu dipersiapkan lahan dan dukungan dari masyarakat,” terangnya.
Selain itu sambungnya, perlu pendanaan dari daerah serta kesiapan dari masyarakat. Skenario penanganan jangka pendek adalah membangun tanggul sementara. Warga pesisir Pantai Ampenan sudah memahami kondisi itu. Untuk kepentingan jangka panjang kawasan sembilan kilometer Pantai Ampenan harus steril. “Sebenarnya mereka sudah mengetahui kondisi itu,” pungkasnya.
Banjir rob yang terjadi sejak akhir Desember 2024, berdampak terhadap ratusan rumah warga. Paling rentan atau rumah warga yang nempel dengan bibir sungai 35-40 unit.
Hj. Fatimah, warga Lingkungan Bugis, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Ampenan menuturkan, tempat tinggalnya rusak parah diterjang gelombang pasang beberapa pekan kemarin. Barang berharga miliknya berhasil dievakuasi, sehingga tidak ada kerugian materil. “Iya, ini tanah pemerintah, tetapi saya tetap bayar pajak setiap tahun,” tuturnya.
Ia mengenang posisi rumah yang ditinggali bersama anak dan menantunya sebelumnya jauh dari bibir pantai. Lambat laun gelombang pasang menghantam sedikit demi sedikit pemukiman warga dan tinggal tersisa rumahnya.
Karena kondisi rumahnya yang rusak parah, ia memilih mengungsi di rumah anaknya. “Sudah tidak bisa ditempati. Lihat sendiri sudah hancur semua karena ombak,” katanya sambil menunjuk bagian rumahnya yang rusak parah.
Hj. Fatimah terlihat berat meninggalkan rumah yang sudah puluhan tahun ditempati tersebut. Seandainya pemerintah merelokasi jaraknya harus tidak jauh dari tempatnya mencari nafkah setiap hari. “Biarkan sudah rumah ini saya pakai untuk memindang ikan,” tuturnya. (cem)