Mataram (Suara NTB) – Badan Urusan Legislasi Daerah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BULD DPD RI) melaksanakan dialog bersama para pemangku kepentingan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk membahas Rekomendasi DPD RI Atas Hasil Pemantauan Dan Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Dan Peraturan Daerah Tentang Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (sebagaimana telah diubah UU Nomor 6 Tahun 2023) di daerah Terkait Kebijakan Daerah Mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah.

Kegiatan ini dilaksanakan bekerja sama dengan Universitas Mataram (Unram) bertempat di Ruang Rapat Senat lantai 3, gedung Rektorat Unram, pada Jumat (21/2/2025). Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Rektor Unram, Prof. Dr. Sitti Hilyana, M.Si.
Dialog menghadirkan pembicara Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi NTB, Ni Nyoman Yuli Suryani, ST., MT.,;pakar hukum tata ruang wilayah, Prof. Dr. Arba, SH., M.Hum.; dan pakar pengembangan wilayah/tata ruang wilayah, Prof. Dr. Sitti Hilyana, M.Si.
Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh Direktur Bina Perencanaan Tata Ruang Daerah Wilayah II Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Chriesty Elisabeth Lengkong, S.Si, M.Si, MEEM.
Rektorat Universitas Mataram dalam sambutannya yang diwakili Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr. Sitti Hilyana, M.Si., menyambut baik kegiatan ini, khususnya bagaimana menata RTRW dan mengintegrasikan dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). “Hal ini tentunya berkaitan dengan respon yang sangat dinamis terhadap keberlakuan UU Cipta Kerja, di mana Provinsi NTB memiliki tantangan tata ruang dengan sebaran kurang lebih 403 pulau,” lanjutnya.
Wakil Ketua BULD DPD RI, Dr. Drs. Marthin Billa, M.M., dalam pengantar diskusinya menyampaikan Provinsi NTB dipilih untuk melaksanakan kegiatan ini karena menghadapi tantangan unik dalam penataan ruangnya. Beberapa alasan utama meliputi adanya tumpang tindih zona pengelolaan antara kawasan konservasi perairan dengan zona infrastruktur, pariwisata, dan perikanan, yang menggambarkan kompleksitas tata ruang di NTB.
Selain itu, NTB merupakan salah satu provinsi yang telah melakukan revisi Perda RTRW untuk menyesuaikan dengan PP Nomor 21 Tahun 2021 melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi NTB Tahun 2024-2044. Hal ini sejalan dengan semangat DPD RI dalam merekomendasikan percepatan penyusunan pedoman teknis dan regulasi pendukung agar daerah dapat menyesuaikan RTRW sesuai aturan pusat.
“Selain itu, diperlukan penguatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah guna memastikan harmonisasi kebijakan tata ruang. Perlindungan terhadap kearifan lokal dan masyarakat adat juga menjadi perhatian utama agar hak atas ruang dan lingkungan tetap terjaga dalam implementasi kebijakan ini” jelasnya.
Dialog diawali dengan penyampaian materi oleh pakar pengembangan wilayah, Sitti Hilyana berpendapat terdapat inkonsistensi tata ruang terutama yang terdapat di darat maupun yang ada di laut. Selanjutnya dalam implementasi UU Cipta Kerja melalui PP Nomor 21 Tahun 2021 sudah cukup untuk mengintegrasikan tata ruang khususnya darat dan laut, baik RTRW dengan RZWP3K, yang kemudian diimplementasikan dalam Perda Provinsi NTB Nomor 5 Tahun 2024 tentang RTRW Provinsi NTB.
Hal ini membuat NTB sebagai sebuah provinsi mempunyai nilai strategis secara nasional karena berhasil menata tata ruang salah satunya dengan pola kawasan lindung (20%), kawasan budidaya (80%).Walaupun terdapat kendala teknis yang dihadapi, salah satunya permasalahan lintas sektoral yang harus dikoordinasikan dengan banyak pihak (kementerian di pusat, maupun OPD di daerah).
Hal ini kemudian diperkuat oleh Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi NTB, Ni Nyoman Yuli Suryani. Disampaikannya bahwa tata ruang merupakan pintu masuk terhadap investasi, khususnya terbitnya perizinan (OSS terintegrasi). Salah satu faktor permasalahan adalah faktor pengendalian yang cukup sulit dengan keterbatasan sumber daya.
Salah satu permasalah tata ruang lainnya, pernyataan mandiri pelaku usaha (dengan klasifikasi di bawah Rp5M), dimana lokasi usaha misalnya ada di Kota Mataram, tetapi pengajuannya di wilayah lainnya. Oleh karena itu, sistem OSS yang berbasis RBA (Risk Based Approach) perlu diterapkan secara optimal, tidak hanya melihat nilai investasi.
Sementara pakar hukum tata ruang wilayah, Arba menjelaskan permasalahan tata ruang yang diubah UU Cipta Kerja menimbulkan ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan, dimana prinsip UU Cipta Kerja dengan UU Tata Ruang (UU Nomor 16 Tahun 2007) berbeda, UU Tata Ruang berorientasi dengan kepentingan masyarakat dan lahan (lingkungan hidup), sementara UU Cipta Kerja lebih berorientasi kepada kemudahan investasi.
Selain itu, ketidakberlakuan UU Cipta Kerja (UU Nomor 11 Tahun 2020) yang kemudian diubah UU Nomor 6 Tahun 2023 menimbulkan permasalahan terhadap peraturan pelaksana yang sudah dibentuk. Hal ini dapat berdampak terjadinya konflik norma dalam pengaturan tata ruang, sehingga disarankan untuk melakukan pembaharuan peraturan pelaksana tata ruang sesuai UU Nomor 6 Tahun 2023.
Kemudian, ditanggapi oleh Kementerian ATR/BPN, Chriesty Elisabeth Lengkong, penataan ruang sesuai UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 telah mempunyai instrumen teknis yang lengkap dan komprehensif. Walaupun saat ini sedang ada revisi PP Nomor 21 Tahun 2021 dan beberapa aturan terkait. Salah satu terobosan yang sedang dilakukan adanya pengintegrasian ruang darat, dalam bumi, laut dan udara dengan model one spatial planning policy (kebijakan satu rencana tata ruang).
Salah satu peserta diskusi, menyampaikan pentingnya perencanaan tata ruang untuk diperhatikan khususnya bagaimana jika ada tambahan kawasan konservasi baru, misalnya kawasan konservasi hiu paus di Sumbawa yang belum diakomodir RTRW. Oleh karena itu, pentingnya penyusun RTRW untuk memperhatikan perkembangan kondisi di suatu daerah dengan seksama. Terakhir, melalui diskusi ini diharapkan seluruh stakeholders tata ruang baik di pusat dan di daerah dapat bersinergi secara optimal.
Dialog diikuti oleh Ketua Komisi IV DPRD Provinsi NTB, perangkat daerah Pemerintah Provinsi NTB maupun unsur pemerintah kabupaten/kota, dan akademisi Universitas Mataram beserta tokoh masyarakat. Selain itu, bersama Wakil Ketua BULD DPD RI yakni Dr. Drs. Marthin Billa (dari Provinsi Kalimantan Utara), Mirah Midadan Fahmid (dari Provinsi NTB), dan sebelas orang Anggota BULD DPD RI. (ron/*)