Mataram (Suara NTB) – Penyidik Polda NTB melimpahkan berkas perkara kasus dugaan pemaksaan pernikahan anak di Lombok Barat ke Kejaksaan Negeri Mataram untuk proses hukum selanjutnya, Rabu, 5 Maret 2025.
“Ya, sudah dilimpahkan,” ujar Kepala Subdirektorat Reserse Kriminal Umum Bidang Remaja, Anak, dan Wanita (Kasubdit Renakta) Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati kepada Suara NTB.
Pelimpahan berkas tersebut disertai dengan tersangka yang turut dibawa oleh pihaknya ke Kejari Mataram pada pukul 10.00 WITA.
Diketahui, kasus ini bermula dari adanya pelaporan yang dilayangkan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Lombok Barat ke Polda NTB. Yang terlapor pada waktu itu adalah wali atau orang tua dari mempelai laki-laki dan perempuan.
Pelaporan UPTD PPA NTB berdasar pada maraknya pernikahan anak yang terjadi di Lombok Barat.
Diketahui, dalam Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa izin menikah diberikan jika laki-laki sudah berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Dalam kasus ini, mempelai pria baru berusia 16 tahun sedangkan mempelai wanita berusia 15 tahun.
Sebelum dilakukan pelaporan, pihak keluarga sebenarnya sudah sempat membuat pernyataan untuk tidak menikahkan anaknya. Namun, saat anak dipulangkan, orang tua diam-diam menikahkan anaknya.
Pada 14 November 2024, Penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda NTB menetapkan ayah kedua mempelai pria dan wanita sebagai tersangka.
Keduanya dijerat dengan Pasal 10 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurut pasal ini, tersangka dapat dipidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Setelah dijadikan tersangka, Polisi tidak menahan keduanya. Penyidik hanya memberlakukan wajib lapor pada keduanya selama dua kali sepekan.
Pertimbangan utama polisi tidak menahan kedua tersangka adalah karena alasan kemanusiaan, mengingat keduanya masih menjadi tulang punggung keluarga.
Lebih lanjut, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram pernah mengomentari kasus ini sebagai sebuah momentum penegakan hukum bagi pelaku perkawinan anak.
Kepala LPA Mataram, Joko Jumadi, menyambut baik pelaporan kasus ini yang dilakukan UPTD PPA ke Polda NTB. Dirinya menganggap hal ini perlu dilakukan langkah untuk membuat jera pihak orang tua.
Praktik perkawinan anak masih banyak terjadi di NTB. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, angka perkawinan anak di NTB mencapai 17,32%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang hanya 6,92%. (mit)