Mataram (Suara NTB) – Kejaksaan Negeri Mataram menetapkan tersangka kasus dugaan pernikahan anak di Lombok Barat sebagai tahanan kota pada Kamis, 6 Maret 2025.
“Jadi tahanan kota, artinya tahanan wilayah Kejari Mataram,” kata Kasi Intelijen Kejari Mataram, Muhammad Harun Al Rasyid.
Harun menjelaskan, kedua tersangka sebagai tahanan wilayah Kejari Mataram diperbolehkan beraktivitas di wilayah Kota Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Utara. Hal ini memungkinkan MH dan MN dapat beraktivitas seperti biasa.
Disebutkan, tersangka MN dan MH akan menjadi tahanan kota selama 20 hari ke depan. Keduanya diwajibkan melapor dua kali seminggu, yaitu setiap hari Senin dan Kamis.
Alasan MH dan MN dijadikan tahanan kota adalah karena keduanya kooperatif selama proses penyidikan.
Harun juga menyatakan tidak ada kekhawatiran bahwa kedua tersangka akan menghilangkan bukti atau mengulangi perbuatannya.
“Mereka tidak mungkin melakukan kejadian yang sama dua kali. Menikahkan kembali itu tidak mungkin,” ujarnya.
Lebih lanjut, alasan kemanusiaan menjadi pertimbangan utama penetapan tahanan kota, mengingat keduanya masih menjadi tulang punggung keluarga.
Selain itu, Kasi Intelijen Kejari Mataram tersebut juga menyinggung soal saksi-saksi dan bukti yang akan dihadirkan dalam persidangan kasus ini.
“Saksinya lebih banyak dari keluarga, yaitu pihak-pihak yang menentukan terjadinya perkawinan. Selain itu, ada ahli yang akan menjelaskan terkait pasal yang dikenakan pada tersangka,” pungkasnya.
Diketahui, kasus ini bermula dari pelaporan yang diajukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) ke Polda NTB. Yang dilaporkan pada waktu itu adalah wali atau orang tua dari mempelai laki-laki dan perempuan.
Pada 14 November 2024, Penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda NTB menetapkan ayah dari kedua mempelai, baik pria maupun wanita, sebagai tersangka.
Keduanya dijerat dengan Pasal 10 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurut pasal ini, tersangka dapat dipidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Polda NTB telah melimpahkan kasus ini ke Kejari Mataram pada Rabu, 5 Maret 2025. (mit)