Catatan: Agus Talino
BEREDAR SK Kepala Daerah salah satu kabupaten tentang pembentukan Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TPPD). Di SK tidak tertulis gaji atau honorarium. Tertulis biaya operasional masing-masing anggota tim belasan juta rupiah sebulan.
SK itu jadi perbincangan dan percakapan. Ada yang menilai. Tim itu tidak harus dibentuk. Maksimalkan saja kerja birokrasi. Apalagi pemerintah sedang melakukan efisiensi. Birokrasi itu lengkap. Di daerah. Ada Sekda, Asisten, Kepala OPD dan pegawai. Maksudnya, tugas-tugas yang diberikan kepada TPPD. Bisa dikerjakan birokrasi. Mereka yang ada di birokrasi punya pengetahuan dan pengalaman. Apalagi Sekda dan pejabat yang sudah lama di birokrasi. Pengetahuannya cukup. Pengalamannya panjang dan lengkap untuk melaksanakan tugas-tugas dari kepala daerah.
Kepala daerah harus memiliki “keprihatinan”. Keuangan negara tidak sedang baik-baik saja. Artinya, kepala daerah harus mempunyai prioritas. Alokasikan anggaran untuk kepentingan yang lebih dibutuhkan. Kecuali TPPD keberadaannya mendesak. Misalnya, pemerintah tidak bisa “jalan” kalau TPPD tidak dibentuk. Program pemerintah akan “macet”. Dan masyarakat akan kesulitan hidupnya tanpa kehadiran TPPD. Kalau kondisinya seperti itu. Tidak masalah TPPD menjadi prioritas. Silakan saja dibentuk.
Kepala daerah tidak boleh salah “menghitung”. Mengira birokrasi tidak mampu bekerja seperti yang menjadi keinginan, harapan dan targetnya. Sehingga kepala daerah harus mengangkat tim di luar birokrasi untuk membantu pekerjaannya. Birokrat yang hebat dan punya kemampuan itu, banyak. Tugas kepala daerah mengajak mereka bicara. Mengajak mereka bekerja maksimal. Insya Allah bisa. Peran kepala daerah sebagai pemimpin sangat menentukan birokrasi bekerja maksimal. Yang penting, syarat-syarat birokrasi bisa bekerja maksimal dipenuhi. Katakanlah, soal anggaran. Tak mungkin juga mesin birokrasi bergerak lancar tanpa mempunyai anggaran yang cukup untuk melaksanakan programnya.
Ketika mesin birokrasi tidak bergerak maksimal. Coba “periksa” dulu. Kira-kira penyebabnya, apa? Kalau dianalogikan dengan kendaraan. Pastikan dulu semuanya normal dan tersedia. Kalau bensinnya tak ada. Kendaraan baru pun tak mungkin bisa jalan. Artinya, ketika birokrasi lamban bergerak. Tidak semua kesalahan ada pada birokrasi. Bisa jadi, ada sesuatu di luar kendali birokrasi untuk bisa birokrasi bekerja cepat dan lincah. TPPD pun bisa kesulitan juga melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya jika tidak dilengkapi dengan seluruh syarat untuk bisa bekerja maksimal. Misalnya, tidak dilengkapi dengan anggaran yang cukup dan memadai.
Kepala daerah perlu juga introspeksi. Ketika birokrasi tidak bekerja maksimal. Jangan-jangan “kesalahannya” bukan pada birokrasi. Tetapi pada cara kepala daerah mengelola birokrasi. Pemimpin hebat itu adalah pemimpin yang mampu mengelola organisasi yang dipimpinnya. Menjadi “konduktor” orkestra. Menghasilkan musik yang harmoni. Indah dan enak didengar. Jika “konduktor” tidak bisa memimpin orkestra dengan baik. Musik bisa tidak harmoni. Yang terdengar bukan musik yang indah. Tetapi musik yang tidak enak untuk dinikmati. Dan sangat mungkin membosankan.
Pemimpin tidak boleh “bersembunyi” di balik kata-kata yang “indah”. Berbicara profesionalisme. Tetapi praktiknya tidak profesional. Berbicara meritokrasi. Tetapi yang terjadi tidak mencerminkan praktik meritokrasi. Artinya, apa pun namanya. Pemimpin harus hati-hati dan ingat dengan apa yang pernah dikatakan. Teknologi tidak bisa dibohongi. Ada jejak digital. Susah “bersembunyi” untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai kata dan praktik. Tidak cocok kata dengan perbuatan. Akibatnya, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan. Padahal yang paling penting dari pemimpin itu. Dipercaya oleh masyarakat. Mau “sembunyi-sembunyi” tidak gampang. Apalagi kalau sembunyinya pada “pohon cabai”. Sepedas apa pun rasa cabai. Tak mungkin pohonnya bisa menjadi tempat “persembunyian”. Pohonnya terlampau kecil untuk bisa menghalangi penglihatan dan pandangan orang lain.
Pemprov NTB. Seperti dilansir media. Rencananya, akan membentuk TPPD. Tidak masalah. Yang penting, regulasinya jelas. Dan tim tersebut sangat dibutuhkan daerah. Bisa membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi Pemprov dan masyarakat.
Proses rekrutmennya transparan. Diuji oleh tim seleksi. Kualifikasi dan syaratnya jelas. Harapannya, semua yang terpilih adalah putra-putri terbaik yang memiliki keahlian yang diperlukan daerah. Artinya, kehadirannya benar-benar bisa melakukan pekerjaan dan tugas yang tidak mampu dikerjakan birokrasi. Birokrasi tidak memilki kemampuan dan keahliaan seperti yang dimiliki TPPD.
Saya percaya. Pembentukan TPPD di Pemprov NTB –kalau benar dibentuk–. Pertimbangannya, matang. Bukan tim sekadarnya. Taruhannya, terlalu mahal. Jika tim keahliannya setara dengan keahlian yang dimiliki birokrasi. Apalagi keahlian dan kemampuannya lebih rendah dari birokrat- birokrat yang ada di birokrasi.
Gubernur NTB, Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal sudah bicara meritokrasi dan tata kelola keuangan sejak lama. Pak Iqbal tidak mungkin membuat kebijakan. Membentuk TPPD tanpa mempertimbangkan kemampuan dan keahlian. Dan tidak mungkin juga mengambil keputusan tanpa menghitung kontribusi tim pada kesejahteraan masyarakat. Konsep Pak Iqbal sangat jelas. Melakukan tata kelola keuangan. Untuk memastikan setiap sen uang pemerintah yang dikeluarkan benar-benar bisa untuk kemakmuran rakyat. Artinya, kehadiran TPPD harus sepadan kontribusinya pada kemakmuran rakyat. Karena pembentukan TPPD ada biayanya. Ada anggaran yang dikeluarkan pemerintah.
Realitas sosial yang kita hadapi masih ada yang mengusik nurani. Tidak sebatas soal kemiskinan. Ada warga sakit yang terpaksa ditandu ke Puskesmas. Karena jalannya tak bisa dilewati kendaraan roda empat. Ada juga peristiwa yang “menyayat” hati. Seorang ibu membawa jenazah anaknya menggunakan taksi online dari Mataram ke KSB. Alhamdulillah ada bantuan ambulans setelah di Pelabuhan Kayangan Lombok Timur. Dan ancaman banjir yang kerap datang setiap tahun. Korbannya, tidak saja harta benda. Tetapi juga nyawa.
Banyak persoalan yang harus tuntas dibicarakan sebelum TPPD dibentuk. Maksudnya, agar TPPD bisa membantu gubernur dan wakil gubernur. Menuntaskan banyak masalah yang dihadapi masyarakat. Tujuannya, agar keberadaan TPPD benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tidak sebatas melakukan pekerjaan yang sebenarnya masih bisa dilakukan dan dikerjakan birokrasi.
Saya suka sekali ketika Pak Iqbal beberapa kali berbicara tentang cara baru kelola NTB. Dan akan meninggalkan cara lama. Yang mungkin sudah tidak cocok lagi dengan tantangan yang ada. Boleh jadi kehadiran TPPD adalah salah satu instrumen untuk mengelola NTB dengan cara baru. Meski sebenarnya, Kepala BKN, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH, MH meminta kepala daerah tidak mengangkat stafsus. Tetapi TPPD bukan stafsus. Argumentasinya bisa begitu.
Dishormonisasi kepala daerah dan wakil kepala daerah kadang-kadang terjadi. Penyebabnya, bisa tentang penempatan pejabat. Misalnya, wakil kepala daerah tidak diajak bicara. Tidak dilibatkan. Mudah-mudahan konflik kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak terjadi di NTB. Selain tidak produktif. Itu contoh yang tidak baik untuk pejabat, pegawai dan masyarakat.
Pemimpin itu harus serius. Tidak bisa pemimpin tidak serius. Pemimpin itu teladan. Sulit juga pemimpin berharap banyak pada orang yang dipimpin. Jika pemimpin tidak konsisten. Tidak bisa dipercaya. Berbeda yang dikatakan dengan yang dilakukan. “Lain tulis. Lain baca”. Itu kelakar teman saya tentang orang yang “indah” diperkataan. Tetapi tak “indah” dipelaksanaan. Di tangannya. Teori dan praktik bisa berbeda. *