spot_img
Selasa, April 22, 2025
spot_img
BerandaNTBMaraknya Kasus Bunuh Diri Disebabkan Kesehatan Mental

Maraknya Kasus Bunuh Diri Disebabkan Kesehatan Mental

Mataram (Suara NTB) – Banyaknya kasus bunuh diri di NTB beberapa waktu lalu mendapatkan atensi dari Dinas Kesehatan (Dikes) Provinsi NTB. Apalagi kasus bunuh diri ini hanya karena hal yang sepele.

Menurut Kepala Dikes Provinsi NTB Dr. dr. H. Lalu Hamzi Fikri, MARS., jika fenomena ini disebabkan oleh persoalan mental health (kesehatan mental) dari orang yang bersangkutan. ‘’Kalau berbicara mental health itu berarti dari sisi internal bersangkutan sama eksternal,’’ ujarnya saat dihubungi Suara NTB di Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi NTB, Kamis, 10 April 2025.

Dari sisi internal, terangnya, kemampuan individu mereduksi ketika ada masalah. Sementara faktor eksternal, cukup banyak, seperti masalah sosial, ekonomi dan lainnya. Meski demikian, kekuatan ketahanan mental itu terbentuk dari pola asuh sejak kecil sampai kepada apa yang dialami sekarang ini.

‘’Kalau dikaitkan dengan kejadian bunuh diri, dari sisi mentalnya sangat rapuh di situ. Jadi saya lebih dengan memperkuat aspek mental ini dari sejak dini, khususnya dari keluarga,’’ terangnya.

Sementara kaitan dengan sejumlah kejadian bunuh diri di NTB lebih banyak berkaitan dengan pola asuh sejak kecil, sehingga perlu peran orang tua dalam membentuk kekuatan mental pribadi seseorang dan aspek lingkungan harus mendukung. ‘’Memang dalam beberapa kasus yang kita lihat kan banyak faktor-faktor menurut kita sepele. Tapi menurut orang itu besar. Terkadang menurut ilmu Skizofrenia itu, persepsi itu sangat besar. Seakan-akan dia punya masalah yang sangat besar dan dipersepsikan oleh individu dia memilih jalan pintas,’’ tambahnya.

Untuk itu, dalam banyaknya   kasus bunuh diri, ujarnya, lebih mengedepankan pada aspek keluarga. Menurutnya, peran semua pihak yang terdekat dengan keluarga sangat penting dalam mendukung agar kesehatan mental masyarakat bisa dijaga. Sementara peran psikiater, psikolog hanya bisa diajak konsultasi ketika sedang mengalami gangguan emosional.

‘’RSJ (Rumah Sakit Jiwa) jangan dianggap sebagai tempat Skizofrenia saja. Ketika ada kasus ringan saja. Ada gangguan tidak nyaman dari sisi mental, susah tidur, stres bisa diakses RSJ. Bahkan sekarang bisa di puskesmas-puskesmas ada program yang sudah melayani kesehatan jiwa,’’ ungkapnya.

Hal senada disampaikan Direktur RSJ Mutiara Sukma dr. Hj. Wiwin Nurhasida. Dirinya prihatin melihat banyaknya kasus bunuh diri yang terjadi di NTB hanya karena persoalan sepele. Diakuinya, dalam jangka 1 bulan, sejumlah kasus bunuh diri terjadi di Pulau Lombok. Bahkan, dalam 1 minggu, ada 2 kasus bunuh diri yang terjadi.

Mengenai berapa orang yang melakukan konsultasi ke Lapor Budir, Hj. Wiwin Nurhasida mengaku, hingga saat ini sudah terdata sebanyak 290 pasien yanng melakukan konsultasi ke Lapor Budir. Sebagian besar yang melakukan konsultasi perempuan dengan rentang usia 20-45 tahun, dengan kasus mulai mengalami gangguan depresi, cemas, dan penyebabnya paling sering terkait dengan masalah percintaan, permasalahan rumah tangga hingga trauma masa lalu.

Psikiater pada RSJ Mutiara Sukma dr. Yolly Dahlia, Sp.Kj., menjelaskan, fenomena kasus bunuh diri dapat disebabkan berbagai faktor, seperti gangguan mental, depresi, skizofrenia, gangguan kepribadian dan, gangguan penyalahlagunaan zat. Sementara pencetus terjadinya gangguan mental tersebut dapat disebabkan masalah psikososial,seperti  masalah dalam pekerjaan, pergaulan, keluarga, konflik internal (ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan) maupun eksternal, termasuk dengan masalah hukum.

Dalam hal ini, ujarnya, keluarga harus mampu mengenali tanda-tanda awal adanya masalah atau gangguan mental pada anggota keluarga. Dicontohkannya, ketika sudah ada perubahan sikap seperti menarik diri (tidak merawat diri dengan baik,  tidak mau berkomunikasi, tidak mau makan minum). Termasuk ada pernyataan negatif yang mengarah keinginan mengakhiri hidup maka harus segera untuk mendapatkan bantuan medis seawal mungkin saat sudah bisa mengenai tanda-tandanya. Selain itu memastikan pengobatan tetap bisa berjalan sesuai arahan dokter.

Hal senada disampaikan Psikiater dr. H. I Putu Diatmika, M.Biomed., Sp.KJ., M.H. Menurutnya, fenomena bunuh diri merupakan multifaktor efek, seperti biologi, psikologis, sosial, budaya, hingga religi.

‘’Penilaian kasus kecil atau besar tidak berdasarkan POV (Point of View) kita, namun dari korban karena yang menurut kita masalah kecil belum tentu sama dengan persepsi korban. Sehingga perlunya kita mendapatkan gambaran kasus dari setiap kejadian,’’ terangnya.

Dalam mengatasi masalah ini, harapnya, keluarga perlu untuk menjalankan pemenuhan kebutuhan akan aspek kelekatan, keberfungsian keluarga sebagai pembimbing, pendamping dan berlindung.

‘’Menjadi teman bicara untuk mendapatkan gambaran masalah yang dihadapi oleh korban untuk dapat mencari jalan keluar. Tidak menghakimi dan menyalahkan , tidak fokus di masalah tapi solusi,’’ terangnya.

Untuk itu, tambahnya, secara offline RSJ Mutiara Sukma sudah memiliki layanan yang lengkap mulai dari preventif dengan melalui kegiatan eksternal seperti pojok healing yang dilaksanakan setiap minggu di Car Free Day Udayana, penyuluhan langsung ke pasien dan keluarga di rawat jalan, edukasi melalui kegiatan Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) ke sekolah-sekolah, Psikolog Goes To School di sekolah-sekolah, hingga layanan rehab dengan layanan rawat jalan. Serta adanya pemanfaatan aplikasi Mutiara Sukma melalui fitur Lapor Budir sebagai layanan pencegahan orientasi bunuh diri berbasis aplikasi. (ham)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -



VIDEO