Mataram (Suara NTB) – Industri perhotelan di Kota Mataram terus mengalami tekanan. Okupansi kamar turun drastis akibat minimnya kegiatan pemerintahan dan melemahnya daya beli masyarakat. Pendapatan hotel merosot hingga 45 persen.
Lobi yang biasanya ramai dengan aktivitas check-in para pegawai pemerintah atau peserta rapat kini hanya ditemani alunan musik instrumental dan hembusan pendingin ruangan. Tak ada antrean di meja resepsionis, tak terdengar bunyi roda koper yang diseret tamu. Hotel itu seolah menunggu dalam kesunyian yang panjang. Inilah gambaran suasana pada beberapa hotel di Kota Mataram saat ini.
Bukan hanya satu dua hotel yang mengalami hal ini. Hampir seluruh industri perhotelan di Kota Mataram kini tengah menghadapi masa-masa sulit. Sejak awal tahun 2025, tekanan terhadap sektor ini semakin berat. Pendapatan anjlok hingga 45 persen, dan tingkat hunian kamar merosot drastis, bahkan sempat menyentuh angka 20 persen saat Ramadan.
“Hotel-hotel di Mataram boleh dibilang sangat bergantung pada kegiatan pemerintahan. Sejak Keppres efisiensi anggaran diterbitkan, hampir semua agenda dinas dibatalkan. Imbasnya langsung terasa ke tingkat okupansi,” tutur Made Adiyasa, Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), pada Selasa, 15 April 2024.
Menurutnya, kegiatan pemerintah selama ini menjadi denyut utama kehidupan hotel-hotel di Kota Mataram. Tanpa seminar, pelatihan, atau rapat instansi, kamar-kamar hanya terisi sebagian kecil. Rata-rata okupansi saat ini hanya berada pada kisaran 25 persen hingga 40 persen.
Harapan sempat muncul ketika libur panjang Lebaran lalu, yang membawa lonjakan tamu. Tingkat hunian kamar melonjak hingga 75 persen, sebuah angin segar di tengah paceklik. Namun, euforia itu hanya sekedip mata. Setelah tanggal 7 April, angka keterisian kembali merosot, membawa industri perhotelan kembali pada kenyataan pahit.
“Setelah tanggal 7 April, tingkat hunian langsung turun lagi. Sekarang kembali sepi,” ujarnya.
Di tengah tekanan dari dalam negeri, kondisi global yang tidak stabil saat ini pun , ikut memperparah situasi. Ancaman inflasi, kenaikan biaya operasional, dan penurunan daya beli masyarakat menjadi tantangan tambahan yang tak bisa diabaikan.
“Dengan Keppres saja kita sudah goyah. Kalau ditambah tekanan global, saya khawatir industri ini makin terpuruk,” pungkasnya.
Di balik pintu-pintu kamar yang kosong, di balik tirai yang tertutup rapat, industri perhotelan di Kota Mataram menanti keajaiban. Mereka tidak butuh janji, yang mereka harapkan adalah langkah nyata pemerintah untuk menyelamatkan sektor yang dulunya menjadi andalan. (hir)