spot_img
Rabu, Juni 18, 2025
spot_img
BerandaPENDIDIKANMengenal Nur Fitriyanti Aspany, Penulis Wakil NTB di “Makassar International Writers Festival...

Mengenal Nur Fitriyanti Aspany, Penulis Wakil NTB di “Makassar International Writers Festival 2025”

Mataram (Suara NTB) – Nur Fitriyanti Aspany, penulis asal Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terpilih sebagai emerging writers di Makassar International Writers Festival (MIWF) tahun 2025. Ia akan terlibat di sejumlah program selama pelaksanaan festival sastra internasional itu, pada 29 Mei-1 Juni 2025.

Nur Fitriyanti Aspany terpilih sebagai emerging writers MIWF 2025 melalui seleksi yang diikuti total 256 penulis dari Indonesia bagian timur. Menariknya, Pany, sapaannya, mengirimkan karya berupa kritik sastra. MIWF adalah festival penulis yang diselenggarakan oleh Rumata’ Artspace sejak 2011. Seperti tahun-tahun sebelumnya, MIWF akan dilaksanakan dengan prinsip festival nir-sampah, inklusif, dan no all-male panel.

Penulis yang berasal dari Dusun Penjangka, Desa Sepakek, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB ini mengirim dua kritik sastra ke MIWF. Tulisan pertama berjudul “Tragedy Dibalut Serendipity”. Tulisan ini mengkaji bagaimana salah satu penulis puisi berkulit hitam berusaha menarik perhatian publik melalui sebuah kejadian yang disebabkan oleh orang-orang berkulit putih. Singkatnya, untuk menghentikan ke-superior-an mereka. Tulisan kedua mengkritisi perkembangan sastra digital dengan judul tulisan “Aporia dan Epiphany dalam Sebuah Puisi Digital”.

Beberapa penulis dari NTB pernah terpilih sebagai emerging writers MIWF melalui karya berupa cerita pendek dan puisi. Namun, Pany terpilih melalui karya kritik sastra. “Mungkin karena tulisan saya kategori kritik sastra yang mana pesaingnya tidak sebanyak karya sastra kategori fiksi,” ujar Pany merendah.

Ia ikut mengirimkan karya ke MIWF, karena punya beberapa tulisan yang sesuai dengan tema MIWF tahun ini. MWIF tahun 2025 ini mengusung tema Land and Hand. Dikutip dari situs resmi MIWF, tema ini merupakan sebuah seruan dan ajakan untuk bersama-sama memikirkan, membicarakan, dan melakukan perlawanan secara kolektif atas segala bentuk perampasan ruang hidup, pembantaian, penindasan, dan pengusiran berbagai komunitas dari tanah mereka, juga pengerukan dan perusakan lahan yang masih terus terjadi di berbagai tempat, serta hal-hal lain di sekitar persoalan-persoalan genting tersebut.

“Saya pikir sayang kalau tulisan saya disimpan di laptop saja. Beruntungnya, ada tulisan yang relevan dengan tema MIWF tahun ini. Jadi, saya memutuskan untuk mengirim tulisan tersebut,” ungkap Pany.

Ia sendiri merasa MIWF sebagai sebuah perayaan bagi sastrawan, penulis, dan akademisi. “MIWF menjadi sebuah wadah yang merayakan eksistensi kami untuk tetap berkarya,” ujar Pany yang kini berusia 26 tahun.

Pany menyampaikan, menikmati karya-karya sastra, terutama novel dan cerpen dari SMP. Namun, mendalami dunia sastra dimulai tahun 2023. Terinspirasi dari seorang dosen yang bernama Prof. Faruk.

Sejak SMP, ia mulai akrab dengan karya sastra, lalu mulai menulis cerita pendek dan puisi saat SMA sampai kuliah S1. Namun tidak pernah tertarik untuk mempublikasikannya untuk publik karena merasa tidak percaya diri. Kemudian, Pany melanjutkan studi S2 di UGM—konsentrasi Sastra Digital.

“Saya merasa lebih cocok melakukan kajian terhadap karya sastra daripada memproduksi karya sastra itu sendiri. Sehingga, dari tahun 2023 hingga saat ini, saya masih menulis kajian dan kritik sastra,” ungkap Pany, yang mengisi waktu luang dengan membaca dan olahraga bulu tangkis atau yoga.

Kebiasaannya memberikan pendapat terhadap karya teman-temannya turut mendorongnya untuk menulis kritik sastra. Ia juga merasa kerap kesulitan menyelesaikan tulisan fiksinya.

“Saya selalu kembali mengedit maupun mengubah tulisan fiksi itu. Terus, ketika diskusi dengan teman-teman penulis cerpen/novel, secara tidak langsung, saat mereka meminta pendapat saya, saya memberikan kritik/saran lebih mudah saja untuk mereka. Dari situlah saya berpikir untuk menulis kritik sastra hingga saat ini,” ujar Pany.

Meski demikian, ia juga menghadapi tantangan dalam menulis kritik, terutama belum adanya teman diskusi. Apalagi ia terbilang masih baru memasuki dunia sastra. Namun ia yakin tantangan ini bisa diatasi dengan mengikuti MIWF ini.

“Tantangan lain mungkin terletak pada bagaimana cara kita mengkritisi suatu karya sesuai dengan pisau bedahnya,” imbuh Pany yang sesekali menjadi penulis konten web atau web content writer, tutor privat bahasa Inggris semua level, guru BIPA, dan editor jurnal ini.

Pany akan mengikuti serangkaian agenda di MIWF nanti. Pada 29 Mei, ia menjadi peserta Kelas Kritik Sastra yang kebetulan diampu oleh salah satu penulis asal Lombok, Iin Farliani. Pada 30 Mei, sebagai salah satu pembaca karya di “Under the Poetic Stars: Pembacaan Karya Emerging Writers MIWF 2025”.

Kemudian pada 1 Juni, Pany memoderatori panel Landless Generation. Selain juga sebagai salah satu panelis dalam “In Conversation with Emerging Writers MIWF 2025”.

“Salah satu di antara banyaknya harapan saya dengan mengikuti MIWF adalah saya bisa menjadi penyeimbang ekosistem sastra di Indonesia. Saya mendukung karya fiksi yang ditulis oleh teman-teman penulis dengan memberikan apresiasi melalui kritik sastra,” harapnya.

Ke depan, Pany akan terus menulis kajian dan kritik sastra. “Saya mungkin akan merealisasikan tulisan yang tertuang dalam tesis, yaitu membuat instalasi interaktif untuk puisi digital. Namun yang pasti, untuk saat ini, saya akan tetap menulis kajian-kajian dan kritik sastra—khususnya karya sastra digital/sastra siber,” pungkasnya. (ron)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -









VIDEO