Mataram (Suara NTB) – Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang kembali disalurkan pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menuai kritik dari DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Anggota DPRD NTB, Made Slamet, menilai penyaluran BSU 2025 berpotensi tidak merata karena syarat penerima hanya menyasar pekerja dengan kategori Penerima Upah (PU) yang terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
Penyaluran BSU 2025 dilakukan secara bertahap pada Juni hingga Juli. Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permennaker) Nomor 5 Tahun 2025, penerima BSU adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang aktif sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan kategori PU, dengan gaji atau upah maksimal Rp3,5 juta per bulan.
Namun, Made Slamet mempertanyakan keadilan distribusi bantuan tersebut. Ia menilai pemerintah seharusnya juga memasukkan peserta BPJS Ketenagakerjaan mandiri, termasuk para pekerja sektor informal seperti buruh bangunan, pedagang kaki lima, dan pekerja lepas lainnya.
“Saya memang tidak yakin BSU 2025 ini bisa disalurkan dengan adil. Terutama terkait pendataan warga penerima bantuan. Banyak pekerja informal yang mendaftar sebagai peserta BPJS secara mandiri, tetapi tidak terdata di Dinas Ketenagakerjaan,” ujarnya, Minggu, 15 Juni 2025.
Politisi PDI Perjuangan itu juga menekankan pentingnya perbaikan data penerima bantuan sosial, agar penyalurannya tidak menimbulkan ketimpangan baru.
“Ini soal data. Jangan sampai bantuan justru melahirkan masalah baru karena distribusinya tidak merata. Para pedagang kecil juga bekerja dan mengupah diri sendiri. Mereka seharusnya juga dilindungi,” tegasnya.
Sebagai solusi, Made Slamet menyarankan agar pemerintah fokus membantu pekerja informal dengan membayarkan iuran BPJS mereka, daripada menyalurkan subsidi upah.
“Daripada disubsidi upahnya, lebih baik dibantu membayarkan iuran BPJS-nya. Jumlahnya tidak terlalu besar, tapi manfaatnya luar biasa bagi para pekerja,” jelasnya.
BSU 2025 merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam menjaga daya beli pekerja berpenghasilan rendah. Namun, kritik terhadap ketepatan sasaran program tersebut terus mengemuka, terutama dari kalangan legislatif daerah. (ndi)