Oleh: Amilan Hatta
(Direktur Eksekutif Lembaga Analisis dan Kajian Kebudayaan Daerah (LINKKAR)
Kalimat “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” dalam lagu Indonesia Raya memiliki makna bahwa pembangunan Bangsa Indonesia harus dilakukan secara menyeluruh, dimulai dari membangun jiwa (rohani) dan dilanjutkan dengan membangun raga (jasmani). Ia menyiratkan bahwa semangat kebangsaan, kesadaran nasional, dan nilai-nilai luhur harus ditanamkan terlebih dahulu sebelum membangun infrastruktur fisik.
Pentingnya mendahulukan pembangunan jiwa daripada fisik didasarkan pada keyakinan bahwa tanpa jiwa yang kuat dan sadar akan nasionalisme, pembangunan fisik tidak akan berarti apa-apa dan mungkin tidak akan berkelanjutan.
Dengan kata lain, lagu ini menyerukan agar rakyat Indonesia tidak hanya fokus pada pembangunan materi, tetapi juga pada pembangunan jiwa, mental dan spiritual. Hal ini bertujuan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat, berkarakter, dan memiliki semangat persatuan yang tinggi untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Plotinus, seorang filsuf pada abad pertengahan menyatakan bahwa jiwa adalah kekuatan ilahi dan merupakan muara kekuatan individu kita. Jiwa tidak dapat dibagi secara kuantitatif karena jiwa adalah entitas tunggal yang tidak dapat dibagi lagi. Konsep bahwa “jiwa Anda sama dengan jiwa saya” tidak dapat diterapkan, menunjukkan bahwa jiwa bersifat individual.
Sementara itu Plato, menekankan konsep bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga adalah ide yang berulang dan klasik yang ditemukan dalam tulisan-tulisan filosofis. Plato menekankan diferensiasi ini, yang mengarah pada perumusan konsep dualisme. Menurut Plato, dualitas antara jiwa dan tubuh mencakup dimensi etis dan religious.
Prof. Yudi Latif, Ph.D., dalam kuliah umumnya pada peringatan 25 tahun Al-Zaytun, menekankan pentingnya merumuskan visi Indonesia hingga seribu tahun ke depan. Ia menyoroti perlunya keseimbangan antara kemajuan fisik dan pembangunan jiwa, serta pengembangan sumber daya manusia yang unggul dengan penguatan karakter bangsa yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, Pancasila akan tetap menjadi fondasi yang relevan untuk membawa Indonesia kembali ke panggung global sebagai pemimpin peradaban dunia.
Penulis buku “Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila” ini menekankan bahwa manusia memiliki dua identitas penting, yaitu sebagai homo sapiens (makhluk yang tahu dan bijak) dan homo imaginatus (makhluk yang berimajinasi). Dengan kemampuan berimajinasi, manusia dapat melakukan perjalanan waktu, mengenang masa lalu, serta membayangkan masa depan. Hal ini, menurutnya, merupakan salah satu kekuatan besar manusia dalam memahami posisinya di dunia dan merencanakan masa depan bangsa.
Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) generasi muda bangsa yang berhasil membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan holistik. Salah satunya dengan menerapkan Tes Kemampuan Akademik bagi para siswa di sekolah. Meski harus diakui juga bahwa TKA memang bisa menjadi bagian dari alat ukur, namun tidak bisa menjadi satu-satunya indikator keberhasilan. Perlu untuk melihat aspek lain untuk menilai keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan jiwa dan badannya, seperti kesejahteraan sosial, kesehatan, nilai-nilai moral, dan partisipasi dalam pembangunan.
Dengan menerapkan sistem evaluasi yang lebih holistik dan fleksibel, Indonesia dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan potensi mereka secara penuh. Evaluasi pendidikan yang mencakup sistem Tes Kemampuan Akademik (TKA) di sekolah memang sangat penting. TKA dapat menjadi instrumen baru untuk menjamin mutu pendidikan secara objektif dan terstandar, serta membantu dalam memetakan kemampuan akademik siswa.
TKA, yang digadang-gadang menggantikan Ujian Nasional, dirancang untuk mengukur kemampuan akademis siswa secara lebih menyeluruh, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA/SMK. TKA tidak bersifat wajib dan tidak menentukan kelulusan siswa, namun hasil tes ini dapat menjadi salah satu komponen penilaian dalam Seleksi Penerimaan Murid Baru (SMPB) ke jenjang berikutnya, seperti dari SD ke SMP dan SMP ke SMA.
Merujuk Siaran Pers Kemendikdasmen tanggal 8 Juni 2025, dalam implementasinya, TKA dapat diikuti oleh siswa dari berbagai jalur pendidikan, termasuk jalur formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK), jalur nonformal (program paket A, B, dan C), serta jalur informal. Peserta TKA akan menerima hasil berupa nilai dan kategori capaian yang ditetapkan secara nasional. Murid dari jalur formal dan nonformal yang telah mengikuti TKA berhak memperoleh sertifikat hasil TKA.
Adapun hasil TKA memiliki fungsi strategis dalam mendukung berbagai kebijakan pendidikan, yakni 1) sebagai dasar seleksi jalur prestasi dalam penerimaan murid baru tingkat SMP, SMA dan SMK; 2) menjadi salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi jalur prestasi; 3) mendukung penyetaraan hasil belajar bagi peserta didik dari jalur nonformal dan informal; 4) menjadi referensi dalam proses seleksi akademik lainnya, serta 5) menjadi acuan penting dalam sistem pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang agama, dan pemerintahan daerah. Untuk tahun ini TKA baru dilaksanakan untuk kelas 12 SMA atau kelas akhir SMK. Sementara untuk SD dan SMP, TKA akan dilaksanakan tahun 2026.
Melihat sistem evaluasi pendidikan di beberapa negara juga, seperti Finlandia dan negara-negara maju lainnya yang menawarkan pendekatan yang lebih holistik dan fokus pada pengembangan siswa secara keseluruhan, bukan hanya hasil tes ujian. Sistem ini seringkali mempertimbangkan aspek partisipasi kelas, proyek kreatif, dan keterampilan kolaborasi, serta mengurangi tekanan kompetisi dengan sistem ranking yang ketat.
Sistem ranking yang ketat seringkali menciptakan tekanan dan kompetisi yang berlebihan, yang dapat merugikan siswa. Sistem evaluasi yang lebih fleksibel dan holistik dapat membantu siswa mengembangkan potensi mereka tanpa tekanan yang berlebihan.
Diharapkan dengan adanya kebijakan TKA ini evaluasi pendidikan di Indonesia menjadi lebih efektif dalam mengukur kompetensi siswa serta diharapkan bisa menjadi salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan jiwa dan badannya generasi muda Indonesia Raya. (*)