Giri Menang (Suara NTB) – Masyarakat Desa Sedau Kecamatan Narmada Lombok Barat melakukan aksi damai, Sabtu, 22 Juni 2025. Aksi ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Aset Desa Sedau atau Ampes ini dilakukan sebagai bentuk “jihad” menyelamatkan aset desa. Masyarakat menolak putusan Pengadilan Agama Giri Menang (PAGM) yang diduga cacat hukum merugikan warga desa setempat.
Aksi damai itu dilakukan di lapangan umum desa setempat yang menjadi objek sengketa karena digugat oleh pihak yang mengaku sebagai ahli waris. Dalam aksinya, warga membawa spanduk bertuliskan “Tanah Ini Milik Masyarakat Desa Sedau” dan “Menolak Putusan PAGM yang Cacat Hukum”. Di lokasi ada juga pihak penggugat lahan itu, namun aksi bejalan kondusif. Warga beramai-ramai mencabut pagar bambu yang dipasang pihak penggugat di areal lokasi lahan itu.
Kepala Desa Sedau, Amir Syarifudin mengatakan bahwa lahan itu merupakan tanah aset milik desa yang diperoleh dari hasil jual beli oleh Kades Sedau ketika itu dijabat Sarisah di bawah tahun 1998 silam. Sejak saat itu tidak pernah terjadi persoalan gugatan. Begitupula pada periode kades selanjutnya. Namun pada periode Kades kembali dijabat H Rahman barulah aset itu digugat. Namun tidak diproses. Kemudian kades dijabat Munahar, gugatan aset itu dilakukan lagi, namun prosesnya tidak berhasil.
“Karena memang lahan ini milik desa dan sudah dikuasai Desa Sedau dan dimanfaatkan oleh warga sejak tahun 1980, sudah hampir 30 tahunan. Itu yang diklaim,” kata dia.
Dasar kepemilikan desa sendiri berdasarkan jual beli, tapi arsip bukti tidak dipegang. Akan tetapi dari keterangan mantan kades dan orang tua, bahwa lahan itu dijual empat kali. Bahkan keterangan dari ahli waris sendiri yang namanya dicantumkan pada gugatan, yang bersangkutan mengaku tidak pernah ikut menggugat.
“Keterangan dari beliau (ahli waris) bahwa tanah itu sudah dijual oleh kakeknya kepada pembeli. Dalam hal ini desa membeli di tangan keempat waktu itu,” ujar dia.
Terkait klaim bahwa lahan itu disewa desa, menurutnya Pemdes tidak pernah mengecewa lahan itu. Itupun modal kuitansi yang dibuat tahun 1993 yang dinilai tak sinkron dengan keterangan orang tua di desa. Luas lahan yang digugat seluas 70 are, namun dari penjelasan mantan Kades luas lahan itu 66 are. Setelah diukur tim desa, luas lahan itu 48 are.
Sementara itu, kuasa hukum pihak penggugat, Zubaidi SH., menegaskan bahwa perkara ini telah berjalan lama. Dan pihaknya sebagai pemenang. “Di sini kami sudah menang dari tingkat 1 Pengadilan Agama, tingkat 2 Pengadilan Tinggi Agama Mataram, dan Mahkamah Agung, jadi kami tidak mau melakukan hal-hal yang di luar kaedah hukum,” tegasnya.
Kalaupun pihak desa keberatan dengan putusan itu, ia pun mempersilakan lakukan upaya hukum sesuai prosedur hukum. “Kami tidak akan melarang atau menghambat proses itu,” imbuhnya. (her)