Mataram (Suara NTB) – Bank Indonesia (BI) merespons isu terkait Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang diduga mengalami kesalahan dalam pembayaran parkir di Bandara Lombok. Kasus ini mencuat setelah seorang pengguna jasa membayar Rp360 ribu untuk parkir mobil selama kurang dari satu jam menggunakan QRIS, yang dianggap tidak wajar dan memicu perhatian publik.
DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) bahkan menyebut kasus ini berpotensi masuk ranah pidana dan meminta dilakukan audit menyeluruh terhadap sistem pengelolaan parkir di Bandara Lombok.
Pihak Bandara Lombok dan pengelola parkir, PT Angkasa Pura Support (APS), telah memberikan klarifikasi dan melakukan pengembalian dana kepada konsumen. Namun, proses investigasi mendalam masih berlangsung. Sementara itu, QRIS menjadi sorotan utama karena dianggap mengalami error.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Kepala Perwakilan BI NTB Bidang Sistem Pembayaran, Ignatius Adhi Nugroho, menegaskan bahwa QRIS tidak dapat langsung disalahkan dalam kasus tersebut.
“Kami sudah melakukan pengecekan dengan pihak bandara. Masalah error bisa saja terjadi di berbagai titik, baik dari QRIS, sistem pencatat durasi kendaraan, maupun sistem merchant parkir yang digunakan, yakni Merchant Parkee,” ujar Ignatius, Senin (30/6).
Ignatius menjelaskan bahwa QRIS bukanlah sistem pengelola transaksi atau pencatat durasi parkir, melainkan hanya metode pembayaran yang menampilkan tagihan dari sistem utama dan memfasilitasi proses pembayaran digital.
“QRIS ibarat metode pencatatan saja yang menginformasikan tagihan. Jadi, kemungkinan kesalahan dari QRIS sangat kecil, walaupun teknologi tetap berpotensi mengalami error,” tambahnya.
Saat ini, BI NTB belum dapat memastikan bagian mana dari sistem yang mengalami kesalahan karena proses verifikasi dan klarifikasi masih berlangsung dengan pihak terkait.
Lebih lanjut, Ignatius mengakui potensi penyalahgunaan dalam sistem pembayaran digital seperti QRIS, misalnya kasus QRIS palsu untuk donasi fiktif.
“Modusnya bisa bermacam-macam, misalnya QRIS yang dipasang atas nama masjid tetapi rekening penerimanya masuk ke pribadi. Oleh karena itu, penting memastikan nama merchant tercetak jelas pada kode QRIS,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat dan merchant agar pemanfaatan QRIS berjalan tepat dan aman.
“Jika QRIS disalahkan hanya karena satu kasus ini, itu kontraproduktif. Bank Indonesia justru sedang gencar mendorong digitalisasi pembayaran. Anggapan bahwa QRIS tidak aman tentu bertentangan dengan upaya kami,” jelas Ignatius.
Menurutnya, kasus ini dapat menjadi pembelajaran bersama bagi penyelenggara layanan, pengelola merchant, dan pengguna agar sistem QRIS tetap menjadi alat pembayaran yang aman dan terpercaya.
“Ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Kami terus mendalami pemberitaan negatif soal QRIS dan berkomitmen mendorong literasi digital bagi semua pihak,” pungkas Ignatius. (bul)