spot_img
Selasa, Juli 8, 2025
spot_img
BerandaHEADLINEIqbal-Dinda, Sekda Baru dan "Mimpi Besar"

Iqbal-Dinda, Sekda Baru dan “Mimpi Besar”

Catatan: Agus Talino

PADA diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram di Mataram, beberapa waktu lalu. Saya satu “panggung” dengan Kadis Kominfotik NTB, H. Yusron Hadi sebagai pembicara. Pembicara lain, Sekjen AJI Indonesia, Bayu Wardana dan anggota Dewan Pers, Yogi Hadi Ismanto. Tema diskusinya cukup berat. “Masa Depan Jurnalis di Tengah Gejolak Ekonomi dan Kemajuan Teknologi”. Pesertanya cukup banyak. Wartawan, Pemimpin Media dan perwakilan organisasi kewartawanan di NTB.

Pada tulisan ini. Saya tidak bicara tentang suasana dan dinamika diskusi. Tetapi saya ingin menulis tentang Sekda NTB. Jabatan yang beberapa waktu lalu, ditinggalkan, H. Lalu Gita Ariadi. Setelah menjadi dosen IPDN.

Tulisan ini terinspirasi dari bincang ringan saya dengan Pak Yusron. Awalnya, saya bertanya kepada Pak Yusron tentang Pansel Sekda dan pejabat Pemprov NTB yang memenuhi syarat ikut seleksi Sekda. Pak Yusron memberi perspektif dan beberapa nama pejabat. Pak Yusron tentu hafal nama pejabat yang memenuhi syarat. Pak Yusron sebelum menjabat sebagai Kadis Kominfotik adalah PLT Kepala BKD.

Seleksi Sekda adalah momentum yang sangat penting bagi Gubernur dan Wakil Gubernur NTB. Gubernur dan Wakil Gubernur perlu merenung panjang. Mempertimbangkan banyak hal. Tidak “terjebak” dengan masukan-masukan yang tidak objektif. Mengawal seleksi Sekda sampai tuntas. Harapannya, melalui seleksi yang ketat. Terpilih Sekda yang benar-benar bisa membantu, melengkapi dan menguatkan Gubernur dan Wakil Gubernur untuk membangun NTB. Mewujudkan visi Iqbal-Dinda. “Bangkit Bersama. NTB Makmur Mendunia”.

Saya tidak mencoba berspekulasi. Apalagi percaya “gosip”. Bahwa relasi Pak Iqbal dan Pak Gita sebagai Sekda saat itu tidak baik-baik saja. Saya percaya hubungan Pak Iqbal dan Pak Gita baik-baik saja. –Setidaknya, itu yang terlihat di permukaan. Itu yang tergambar di panggung depan–. Tetapi suka atau tidak suka. Peristiwa ralat undangan buka puasa pejabat. Mutasi batal yang undangannya ditandatangani Pak Gita menimbulkan banyak pertanyaan. Pada ruang politik. Semua sudut bisa menjadi ruang yang “bising”. Dibicarakan, didiskusikan dan dinilai.

Sebagai “rising star” pada panggung politik. Pak Iqbal punya beban “sejarah” yang tidak kecil. “Sejarah” tentang karir diplomatnya yang cemerlang. Berada pada puncak karirnya sebagai duta besar pada usia yang relatif muda. Akibatnya, banyak orang meletakkan harapan besar pada Pak Iqbal sebagai pemimpin di daerah. Maksudnya, Pak Iqbal itu orang hebat. Orang hebat itu karyanya harus hebat. Tidak saja untuk dirinya sendiri. Tetapi yang lebih penting, hebat untuk orang lain. Apalagi sebagai pemimpin. Orang hebat itu tidak boleh keliru mengambil keputusan. Karena bisa merusak karyanya. Dan orang hebat itu tidak boleh gagal. Orang gagal itu tidak hebat. Apalagi kegagalannya berdampak pada banyak orang.

Pak Iqbal sebagai Gubernur NTB sudah lebih 100 hari. Saya percaya, Pak Iqbal sudah sangat mengenal “medan”. Sudah banyak belajar tentang realitas politik yang dihadapi. Mengenal benar “warna” relasi, mitra dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sudah bisa mengevaluasi dengan cermat masukan-masukan yang diterima. Masukan yang tulus. Masukan yang objektif. Masukan yang sarat motif. Cari muka, cari perhatian, “tepuk tangan” keras-keras. Padahal sesungguhnya “ada udang di balik batu”. Bicaranya “besar”. Padahal realitasnya kecil. Maksudnya, Pak Iqbal sebagai pemimpin tidak gampang dipuji-puji untuk maksud tertentu. Apalagi dibohongi dan “dikadali'”. Orang yang sengaja mendekat untuk mendapatkan jabatan. Dan mendapatkan keuntungan pribadi.

Saya berharap, Pak Iqbal tidak pernah ketemu dengan orang yang salah. Tidak pernah keliru memilih “orang dekat”. Tidak pernah bergaul dengan orang yang “bermain” sendiri di belakangnya. Tidak pernah bersentuhan dengan orang yang memanfaatkan kedekatan dengan dirinya untuk bermain proyek dan jual beli jabatan.

Saya berharap, semua pergaulannya, semua orang yang punya “akses” terhadap dirinya adalah orang-orang hebat. Orang-orang yang selalu memberi masukan dan mempunyai pikiran-pikiran yang “genuine”. Artinya, orang hebat. Dilingkari orang hebat. Insya Allah, karya yang dihasilkan akan hebat. “Ukuran” dan nilai seseorang itu bukan pada kata-katanya. Tetapi pada karyanya.

Tekad Pak Iqbal yang kuat membangun “kekuatan” birokrasi untuk mewujudkan visi Iqbal-Dinda merupakan “modal besar”. Artinya, Iqbal-Dinda tidak akan “main-main”. Apalagi “asal” saja menata birokrasi. Risikonya besar. Mimpi Iqbal-Dinda membangun NTB itu besar. Bahkan sangat besar. Cukup banyak pernyataan Pak Iqbal yang menjelaskan tentang mimpi besarnya. Menjelaskan tentang potensi NTB. Menjelaskan tentang NTB yang seharusnya menjadi daerah yang hebat dan kaya raya.

Pertumbuhan ekonomi yang rendah. Ada fakta beberapa karyawan hotel dirumahkan. Karena tamu hotel kurang. Padahal pariwisata merupakan andalan NTB. Harus dilihat dan dimaknai dengan bijak. Ini adalah tantangan yang harus dijawab. Tidak lantas menolak realitas. Tidak perlu seperti orang “kebakaran jenggot” mencari pembenaran. Terima saja faktanya. Tidak usah “tepuk tangan” tidak pada tempatnya. Nanti kelihatannya malah tidak baik. Dan orang bisa kehilangan respek dan kepercayaan. Apalagi kalau cara “mengolahnya” dengan argumentasi yang tidak kuat.

Godaan pada kekuasaan itu besar. Akibatnya, bisa saja orang kehilangan nalar dan idealisme. Tergoda untuk mendapatkan sesuatu pada kekuasaan. “Tepuk tangan”-nya menjadi “lebay” dan tidak rasional. Ketika menteri datang ke NTB menghadiri kegiatan. Kita apresiasi. Kita hormati. Kita berterima kasih kehadirannya di NTB. Tetapi tidak usah terlampau berlebihan. Apalagi dengan memaknai kehadiran menteri di daerah sebagai sesuatu yang luar biasa. Biasa saja. Nggak perlu menggunakan istilah yang terlampau “melangit”. Misalnya, menggunakan istilah “Meledak”. Karena yang “meledak” itu apa juga? Jangan “menggoda” pemimpin dengan pujian-pujian yang berlebihan. Jangan “seret” pemimpin dengan cara-cara “picisan”. Jangan dorong pemimpin keliru membaca realitas. Salah membaca “medan”.

Yang paling penting, kehadiran menteri di NTB itu adalah manfaatnya bagi masyarakat. Program pembangunan jalan. Janji politik pemimpin tertunaikan. Masyarakat sejahtera. Masyarakat tidak kesulitan mencari pekerjaan. Masyarakat mudah mencari rezeki. Bebas dari kemiskinan.

Ada kritik dan masukan terhadap pemimpin adalah normal. Karena orang punya harapan pada pemimpin. Apalagi pada pemimpin sekelas Pak Iqbal. Anak muda yang cemerlang. Jejak karirnya hebat. Sehingga banyak orang yang ingin melihat Pak Iqbal sukses. Tidak boleh salah mengambil keputusan. Kesalahannya berpengaruh pada banyak orang. Artinya, ketika ada orang yang memberi masukan. Melakukan kritik. Tidak perlu reaktif. Terima saja dulu. Endapkan saja dulu. Pastikan masukan dan kritik tersebut objektif atau ada motif tertentu. Berikan saja penjelasan dengan menghadirkan data dan argumentasi yang kuat. Akurat dan masuk akal. Jangan “uring-uringan”. Itu tidak cerdas.

Pak Iqbal cukup sering bicara tentang meritokrasi. Ketika ada yang bertanya dan memberi catatan. Seharusnya dimaknai sebagai dukungan terhadap kepemimpinan Iqbal-Dinda. Maknai saja, itu sebagai bentuk cinta masyarakat terhadap pemimpinnya. Tidak usah berlebihan memaknainya. Apalagi lantas memberi reaksi berlebihan. Menyebutkan mutasi sebagai sesuatu yang “sementara”. Sehingga harus dimaklumi kalau tidak mencerminkan kesesuaian. ‘Meleset” dari meritokrasi.

Cara berhitungnya tidak begitu. Tugas dan tanggung jawab pemimpin itu setiap saat. Tidak ada yang “sementara”. Semua waktu harus dihitung. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya hingga masa jabatan berakhir. Artinya, memberi yang terbaik untuk kepentingan masyarakat itu harus setiap saat. Tidak boleh ada kompromi. Misalnya, untuk waktu tertentu, cukup memberikan dan melakukan sesuatu untuk masyarakat seadanya saja. Tidak boleh begitu. Menghitung waktu itu, penting. Jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah itu ada limitasinya. Ada batas waktunya. Karena itu, harus tetap maksimal. Tidak ada istilah sementera. Tunggu SOTK baru.

Hidup itu adalah belajar. Pemimpin juga harus bersedia dan mau terus belajar. Saya pikir, Iqbal-Dinda sudah banyak belajar selama memimpin sebagai Gubernur dan Wakli Gubernur. Orang-orang yang berada di sampingnya harus bisa menjaga dan mengawal arah. Angin boleh datang mengganggu langkah. Tetapi langkah tak boleh “terseret” dan kehilangan arah. Kehadiran orang dekat harus bisa menghadirkan ketenangan dan kesejukan. Tidak sebaliknya, menjadi beban, menyulitkan, dan mengganggu kerja pemimpin. Harapannya, setelah ada Sekda baru. Setelah ada SOTK baru. Mesin birokrasi bergerak cepat. Iqbal-Dinda menepati janjinya. “NTB Makmur Mendunia”. Semoga. *

RELATED ARTICLES
- Advertisment -






VIDEO