Mataram (Suara NTB) – Bappenda NTB menemukan, kasus salah salur pajak Penggunaan bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang dilakukan beberapa perusahaan penyedia bahan bakar minyak di NTB.
Hal itu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bappenda NTB, Ir.H.Fathurrahman, M.Si di Mataram. Ia menjelaskan, perusahaan penyedia bahan bakar minyak yang dimaksud menyalurkan PPBKB ke luar daerah yakni Jawa Timur.
“Beberapa perusahaan yang kemarin ada yang ternyata juga ada yang bayar pajak PBBKB itu di Jawa Timur, sementara dia penyedia atau untuk BPM industri di NTB seperti itu. Nah itu kita klarifikasi dengan Patrianiaga di Surabaya,” jelasnya.
Klarifikasi terebut dilakukan menyesuaikan dengan data yang ada. Termasuk data sanding yang sebelumnya pihaknya telah koordinasikan dengan Kanwil Ditjen Pajak. “Sesuai dengan data yang ada termasuk juga data sanding itu, bahwa mereka juga membayar PPN (Pajak Pertambahan Nilai) terkait dengan itu. Sehingga mereka artinya juga mengiyakan bahwa itu salah salur. Sehingga kita diminta untuk melakukan rekonsiliasi,” ujarnya.
Pada tahap awal pihaknya sudah melakukan rekonsiliasi, akan tetapi secara pehitungan belum pas. Kemarin itu perhitungannya untuk tahun 2024. “Jadi tahun-tahun sebelumnya yang salah salur itu yang harus kita juga bagaimana bentuk yang harus dilakukan oleh Patraniaga. Terus lagi wajib pungut kan terhadap perusahaan-perusahaan itu atau penyalurnya,” jelasnya
Ia menyebut, secara data ada gep atau seilisih ketika dasar pengenaan pajak yang dilakukan untuk menghitung PPN dengan pajak bahan bakar minyak. “Selisih tersebut ada karena kasus salah salur itu. Nah, ini yang ingin kita rapikan dan sebagainya. Terkait masalah angka masih kami detailkan dulu, ” terangnya.
Diketahui ada 10 perusahan penyedia bahan bakar minyak. Sementara dari 10 perusahaan tersebut potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bisa didapatkan cukup besar. Fathurrahman menyebut, secara potensi di angka sekitar Rp100 miliar.
“Artinya ini baru 6 bulan ya kita lakukan rekonsiliasi ini. Artinya dari 2024 enam bulan. Karena data harus per semester. Karena rupanya data itu bisa kita terima ketika ada permintaan data. Data itu juga dia secara bertahap. Karena dia menggunakan pola semester 1 dan semester 2. Sehingga kita untuk Desember 2025 ini sedang proses,” tuturnya.
Ia menambahkan, untuk saat ini Patraniaga di Surabaya akan menyetor sekitar Rp4,5 miliar. Akan tetapi, pihaknya masih tengah menganalisis lagi di tahun-tahun sebelumnya. “Tetapi kan kita masih mencoba menganalisis lagi dari yang sebelumnya. Karena ini hitungannya baru di 2024. Bagaimana 2023, 2000 seperti yang kita lakukan. Pajak itu kadaluarsa 5 tahun,” pungkasnya. (sib)