Giri Menang (suarantb.com) – Ketimpangan alokasi anggaran antara kelurahan dan desa di Lombok Barat dikeluhkan oleh para Kepala Lingkungan (Kaling) di tiga Kelurahan di Kecamatan Gerung, di antaranya Kelurahan Gerung Selatan, Gerung Utara, dan Dasan Geres. Kondisi ini menyebabkan pembangunan di desa jauh lebih cepat dibanding Kelurahan yang terkesan mati suri. Tidak saja soal anggaran, dari sisi gaji Kaling dan Kadus pun lebih rendah dibanding Kadus.
Persoalan ini diangkat oleh Forum Kaling dalam hearing dengan Komisi 1 DPRD Lobar pada Selasa (23/9/2025). Dalam pertemuan yang dipimpin Ketua Komisi I DPRD Lobar, Ahyar Rasyidi dan dihadiri beberapa anggota seperti H. Kamaruddin, H. Beni Basuki, Idris Putrawan serta H. Deni Asmawi. Dari eksekutif, hadir dari Bappeda, BPKAD, camat Gerung Fitriati Wahyuni, Inspektorat dan OPD terkait. Dalam pertemuan itu, para Kaling menuntut keadilan anggaran, lantaran merasa dianaktirikan dan bahkan mengalami diskriminasi.
Mereka membandingkan kondisi kelurahan dengan desa layaknya “langit dan bumi”—sebuah perumpamaan yang tegas menggambarkan perbedaan drastis dalam hal pendanaan. Diskusi diawali oleh H. Lalu Takdir Mahdi yang merupakan tokoh masyarakat Gerung. Ia menyebutkan salah satunya adalah beban kerja para marbot masjid yang berat dan dituntut tepat waktu, tetapi hanya menerima honor Rp300 ribu per bulan. “Honornya masih 300 ribu yang bisa kita berikan,” ujarnya.
Masalah ini diperparah dengan tidak adanya Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bisa dinikmati oleh kelurahan. Kondisi ini membuat para Kaling merasa ada ketidakadilan.
Sementara itu, M. Subki, Kaling Dasan Geres Tengah, mengungkapkan kekecewaannya. “Kami dianaktirikan terkait anggaran ini. Kami minta penambahan, karena banyak sekali yang tidak kami dapat. Desa dapat DD, ADD, bahkan ada program pokir yang terus mengalir,” katanya.
Pernyataan ini didukung oleh Kaling lain, yang merasa kelurahan telah lama diabaikan, bahkan selama 13 tahun menjadi kelurahan, mereka mengibaratkan “tidak pernah ada sentuhan dari pemerintah.”
Selain anggaran pemerintah, kelurahan juga kesulitan mendapatkan bantuan dari sektor swasta. Suharman, Kaling Dodokan, menyoroti keberadaan beberapa perusahaan besar di wilayahnya, seperti beberapa Bank dan PDAM. Namun, upaya mereka untuk mendapatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) selalu menemui jalan buntu.
“Beberapa kali masukkan proposal tapi tidak dijawab, jawabannya kami bukan hanya untuk masyarakat Dodokan dan Gerung saja,” keluhnya.
Bahkan untuk masalah infrastruktur yang mendesak, kelurahan seolah dibiarkan berjuang sendiri. Suharman menceritakan kasus sebuah bangunan milik warganya di bantaran sungai yang terancam roboh. “Kami sudah menghadap ke BWS, tapi dijawab tidak bisa membantu,” ungkapnya.
Ini menjadi bukti bahwa tanpa anggaran yang memadai, kelurahan tak berdaya menghadapi masalah mendesak di lingkungan mereka.
Para Kaling memberikan perumpamaan yang menyentuh hati. Menurut mereka, kelurahan dan lingkungan seperti “anak bayi yang terlahir prematur”. Bayi prematur seharusnya mendapat perhatian lebih, namun kenyataannya justru sebaliknya. “Anggaran pembangunan lingkungan hanya 200 juta untuk satu kelurahan,” kata Ardi, Kaling Dasan Geres Timur,menggambarkan betapa minimnya perhatian yang diberikan. Sementara itu, desa-desa di Kecamatan Gerung justru mengelola anggaran yang fantastis.
Fitriati Wahyuni selaku Camat Gerung, tak menampik keterbatasan anggaran di tiga Kelurahan. Pihaknya pun memiliki harapan yang sama dengan para Kaling agar mendapat perhatian dari Pemkab. Rata-rata Kaling ini mendapatkan anggaran jika dibagi oleh kelurahan Rp50 juta hingga di bawah Rp100 juta. Itu pun kata dia, sudah masuk kegiatan PMT dan honor linmas serta lainnya. Dana inipun masuk ke kelurahan dan di kelurahan ada KPA nya.
Sementara dana kelurahan dari pusat sendiri tidak ada untuk tiga kelurahan di Lobar.Ia mencontohkan, perbandingan yang mencolok. “Desa di Gerung, contoh Babussalam, mereka kelola anggaran Rp2 miliar lebih,” jelasnya. Termasuk dari sisi gaji, karena beban kerja antara Kadus dengan Kaling ini hampir sama. “Beban kerja sama, tapi kata para paling kenapa kami lebih rendah?” ujarnya menyampaikan salah satu Aspirasi Kaling.
Namun kata dia, soal ini ada angin segar dari ketua komisi I. Ia pun berharap juga Kaling mendapatkan perhatian.
Sementara itu, Sekretaris Bappeda Lobar, Yulinda Irmayani merespons aspirasi para Kaling, Yulinda menyatakan bahwa saat ini pemerintah sedang dalam tahap evaluasi RPJMD yang telah ditetapkan. Ia mengakui bahwa “misi besar” aspirasi para Kaling adalah untuk merubah wajah dan citra Kota Gerung. Pernyataan ini seolah menjadi pengakuan bahwa selama ini ada masalah fundamental yang belum terselesaikan.
Sementara itu, Sekretaris BPKAD Agus Wirawan Sastra memberikan penjelasan dari sisi regulasi. Ia memaparkan bahwa anggaran yang diterima desa tidak sepenuhnya dapat dikelola bebas. “Misal ada 1 desa dapat 1 miliar, yang bebas dia kelola hanya 100 desa, yang lainnya untuk mandatory dari pusat seperti pembayaran yang lain,” terangnya.
Ia juga menjelaskan bahwa BLT tidak bisa diberikan langsung ke kelurahan karena harus ada daftar nama yang sudah direncanakan sebelumnya. Namun, penjelasan ini tampaknya belum sepenuhnya menenangkan para Kaling yang merasa ketidakadilan tetap ada.
Sementara itu, ketua Komisi I DPRD Lobar Ahyar Rasyidi, mengatakan sebagai tindak lanjut hearing kepala lingkungan komisi I akan menindaklanjuti dengan rapat kerja bersama Bagian Pemerintahan, Bappeda, dan OPD terkait. Dengan memasukkan isu penguatan kelurahan ini dalam agenda pembahasan APBD maupun regulasi daerah.
“Mengawal agar aspirasi ini tidak berhenti di forum, tapi mudah-mudahan masuk dalam kebijakan,” kata Politisi PKS itu.
Sebab Komisi 1 melihat bahwa kesenjangan anggaran antara desa dan kelurahan sudah lama terjadi. Desa memiliki alokasi dana desa dan alokasi dana desa yang sumbernya dari pusat dan daerah, sementara kelurahan tidak. “Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam kemampuan membangun wilayah Sehingga wajar jika para kaling menyampaikan aspirasinya ke kami,” sambungnya.
Untuk itu, pihaknya akan mendorong adanya kebijakan afirmatif bagi kelurahan, baik melalui APBD kabupaten maupun provinsi. Melakukan kajian regulasi untuk mencari ruang agar kelurahan bisa mendapatkan tambahan sumber anggaran, misalnya melalui program program terobosan pemda. Dewan juga akan menjadi jembatan aspirasi kelurahan ke pemerintah pusat, karena akar persoalan ini terkait kebijakan nasional.
Pihaknya juga mendorong OPD teknis, terutama Dinas Perkim dan PUPR, untuk memberikan program penataan lingkungan di wilayah kelurahan. Hal senada disampaikan, Anggota Komisi I DPRD Lobar, H. Deni Asmawi, sepakat akan melakukan pembahasan serius terkait tuntutan dan keluhan dari para Kaling tersebut.
Dalam hearing tersebut, pihak Komisi I hanya menjadi jembatan diskusi antara pihak Kaling dengan jajaran eksekutif. “Kami akan mem-follow up apa yang menjadi tuntutan para Kaling tersebut. Kita tidak ingin persoalan ini menjadi berlarut-larut tanpa solusi,” kata dia.
Dewan mendorong Pemkab untuk lebih memperhatikan kelurahan, baik dari sisi anggaran, gaji Kaling, RT dan lainnya. Sebab anggaran kelurahan ini praktis sangat jauh dari dana Desa sehingga wajar kemudian Kaling menyuarakan hal ini. Termasuk soal gaji Kaling perlu disetarakan dengan Kadus, sebab memiliki beban yang hampir sama. (her)

