Mataram (suarantb.com) – Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaeda kembali menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi anggaran pokok pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD NTB 2025 di Kejaksaan Tinggi NTB, Selasa (7/10/2025).
“Pemeriksaan terkait adanya dugaan gratifikasi yang dilakukan oleh beberapa anggota DPRD baru,” kata Isvie.
Ada sekitar 14 pertanyaan yang penyidik pidana khusus tanyakan kepada dirinya. Pemeriksaannya kembali di tahap penyidikan juga lebih lama daripada saat ia diperiksa di tahap penyelidikan.
Dia mengaku menyampaikan banyak hal di hadapan penyidik. “Banyak hal ya, tapi karena saya tidak tahu, saya jawab apa yang saya tahu, apa yang saya dengar,” jelasnya.
Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) itu mengaku tidak tahu menahu terkait gratifikasi yang diduga melibatkan anggota dewan tersebut.
“Tentu kalau saya tidak tahu saya tidak bisa mengatakan saya tahu,” kata dia.
Jika publik berasumsi bahwa Isvie ikut terlibat dalam kasus ini. “Tapi nyatanya saya tidak tahu sama sekali,” tegasnya.
Ditanya terkait apakah nantinya anggota dewan yang terlibat akan dikenai sanksi, Isvie menjawab bahwa itu ranah dari masing-masing partai mereka
“Yang berhak memberikan sanksi secara administrasi itu dari partai,” sebutnya.
Wanita kelahiran Selong, Lombok Timur itu diperiksa penyidik Pidsus Kejati NTB sekitar tiga jam. Dia datang ke Kejati NTB sekitar pukul 09.00 Wita dan selesai pada pukul 12.03 Wita. Isvie terlihat datang ke Kejati mengenakan jilbab berwarna biru laut, senada dengan baju yang ia kenakan.
Terpisah, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati NTB, Efrien Saputera membenarkan pemeriksaan Isvie terkait penyidikan kasus dugaan dana “siluman.”
“Iya, diperiksa sebagai saksi, untuk pendalaman proses penyidikan kasus dana ‘siluman’,” pungkas Efrien.
Terima Pengembalian Uang Rp1,85 Miliar
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTB, Wahyudi, Kamis (25/9/2025) mengaku telah menerima pengembalian uang (mengamankan) Rp1,85 miliar dalam kasus ini.
“Jumlahnya sekarang yang dititipkan ada Rp1,85 miliar,” ucap Wahyudi.
Namun, dia mengaku belum mengetahui siapa dan berapa jumlah anggota DPRD NTB yang datang mengembalikan uang tersebut.
“Berapa jumlahnya (yang mengembalikan) belum tahu, jelasnya nanti,” katanya.
Uang Rp1,85 miliar itu nantinya akan menjadi barang bukti. “Kita sita sebagai barang bukti, bisa jadi alat bukti petunjuk penanganan perkara yang dimaksud,” jelasnya.
Ditanya terkait dugaan uang siluman tersebut berasal dari kontraktor atau uang direktif dari Pemprov NTB, Wahyudi mengaku belum mengetahuinya.
“Itu nanti belum tahu saya, dana itu belum tahu saya sumbernya,” tuturnya.
Terkait siapa pemberi uang siluman itu, penyidik masih perlu mendalaminya di tahap penyidikan.
“Karena kita saat ini masih penyidikan. Nanti ada saatnya setelah tahapan penyidikan, akan kami sampaikan,” tambahnya.
Terkait peningkatan status kasus ke tahap penyidikan, Mantan Wakil Kepala Kejati Jawa Barat itu menegaskan bahwa perkara ini telah jelas memiliki unsur perbuatan melawan hukum.
Oleh karena itu terang dia, penyidik punya kewajiban untuk menelusuri dan menemukan siapa tersangka di balik kasus ini.
“Menemukan siapa tersangkanya. Menemukan alat-alat bukti,” jelasnya.
Sebagai informasi, kasus ini bermula dari dugaan pemotongan program Pokir Anggota DPRD NTB Periode 2019-2024 yang sudah menjadi Daftar Pelaksanaan Anggaran di APBD NTB tahun 2025. Program Pokir tersebut memang masih menjadi hak anggota DPRD NTB sebelumnya. Karena berasal dari penjaringan aspirasi mereka dan juga disahkan dalam APBD tatkala mereka masih menjabat.
Dugaannya, dalam pemotongan program Pokir tersebut ada beberapa oknum anggota dewan baru di DPRD NTB yang disinyalir mengkoordinir pembagian uang kepada rekan-rekannya sesama anggota dewan baru.
Uang yang dibagikan tersebut diduga merupakan fee dari anggaran program yang akan didapatkan para anggota dewan. Fee itu disinyalemen bersumber dari pemotongan Pokir 39 anggota DPRD NTB periode sebelumnya yang tidak terpilih kembali. (mit)

