Amilan Hatta *)
(Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fisipol-UNSA Sumbawa Besar)
PEMERINTAH Indonesia terus berupaya meningkatkan akses pendidikan yang merata dan berkualitas bagi seluruh rakyatnya. Dua program yang menjadi sorotan adalah Program Indonesia Pintar (PIP) dan Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM). Pada tahun 2024, PIP menargetkan 18,5 juta siswa dengan pagu anggaran Rp13,5 triliun, sementara ADEM menargetkan 4.679 siswa dengan anggaran Rp127 miliar. Perbedaan skala, target, dan alokasi anggaran yang signifikan antara kedua program ini mencerminkan strategi yang berbeda dalam menangani masalah ketimpangan pendidikan. Opini sederhana ini akan menguraikan kelebihan dan tantangan masing-masing program dengan merujuk pada literatur dan data yang relevan.
PIP adalah program bantuan tunai pendidikan yang ditujukan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan rentan untuk membiayai kebutuhan personal pendidikan. Dengan target 18,5 juta siswa, PIP jelas merupakan program bantuan pendidikan terbesar di Indonesia.
PIP dirancang untuk menjangkau sebagian besar populasi siswa yang membutuhkan, sesuai dengan data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Ini selaras dengan teori human capital yang menekankan bahwa investasi dalam pendidikan massal dapat mendongkrak kualitas tenaga kerja suatu bangsa (Becker, 1994)
Bantuan tunai PIP juga bertujuan untuk mengurangi beban biaya langsung pendidikan, seperti uang SPP, seragam, dan buku, yang merupakan salah satu penyebab utama anak putus sekolah. Studi Bank Dunia (2018) menunjukkan bahwa program bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfers) seperti PIP efektif dalam meningkatkan partisipasi sekolah.
Selain itu dengan memanfaatkan basis data yang sudah ada (DTKS) dan menyalurkan dana melalui bank, PIP relatif lebih mudah diadministrasikan untuk skala sebesar itu.
Meski skalanya besar, nilai bantuan per siswa PIP seringkali dinilai belum cukup untuk menutup seluruh biaya pendidikan. Selain itu, ketidakakuratan data DTKS dapat menyebabkan salah sasaran (exclusion dan inclusion error), di mana ada yang seharusnya menerima justru tidak mendapat, dan sebaliknya.
Tantangan berikutnya adalah fokus pada Akses, bukan Kualitas, artinya PIP terutama mengatasi hambatan ekonomi untuk akses, tetapi kurang menyentuh aspek kualitas pendidikan dan keberlanjutan hingga jenjang yang lebih tinggi. Bantuan ini bisa jadi hanya menjadi “tambal sulam” tanpa disertai perbaikan kualitas sekolah dan dukungan pembelajaran.
Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM): Pendekatan Spesifik untuk Daerah Terdepan
ADEM adalah program beasiswa yang menyasar siswa berprestasi dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah di sekolah-sekolah yang berkualitas di wilayah perkotaan atau regional.
ADEM mengakui bahwa ketimpangan pendidikan bersifat struktural dan geografis. Teori keadilan sosial (Rawls, 1971) mendukung kebijakan yang memberikan perlakuan khusus bagi kelompok yang secara historis tertinggal untuk menciptakan kesetaraan peluang. ADEM adalah perwujudan dari prinsip ini.
Dengan menyekolahkan anak-anak terbaik dari daerah 3T di lingkungan pendidikan yang lebih baik, ADEM berinvestasi pada pembentukan calon-calon pemimpin masa depan yang akan kembali membangun daerah asalnya. Ini adalah investasi jangka panjang dalam “human capital” yang berkualitas.
Beasiswa ADEM biasanya mencakup biaya hidup, asrama, dan pendampingan, yang memastikan siswa dapat fokus belajar tanpa terbebani masalah finansial.
Selain berbicara sisi positif ADEM, namun tidak lepas juga dengan tantangan yang mengikutinya. Misalnya soal skala yang terbatas, dengan hanya 4.679 penerima, dampak ADEM secara nasional sangat kecil. Program ini tidak dirancang untuk menyelesaikan masalah akses pendidikan secara keseluruhan, melainkan menjadi “pilot project” atau program simbolis untuk pemerataan kesempatan.
Tantangan kedua, masalah Risiko “Brain Drain” Daerah: Ada kekhawatiran bahwa siswa yang mengikuti ADEM mungkin tidak kembali ke daerah asalnya setelah menyelesaikan pendidikan, sehingga justru membuat daerah kehilangan talenta terbaiknya.
Lalu yang ketiga masalah tantangan adaptasi: Siswa dari daerah 3T bisa mengalami gegar budaya dan akademik ketika harus bersaing dan beradaptasi di sekolah yang lebih maju, yang berpotensi mempengaruhi kesehatan mental dan prestasi belajar mereka.
Bila kita melakukan analisis perbandingan antara PIP dan ADEM, adalah seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Membandingkan anggaran per siswa dapat memberikan gambaran yang menarik, PIP: Rp13,5 triliun / 18,5 juta siswa = ± Rp730.000 per siswa. ADEM: Rp127 miliar / 4.679 siswa = ± Rp27,14 juta per siswa.
Perbedaan yang sangat mencolok ini bukanlah indikasi inefisiensi, melainkan cerminan dari perbedaan tujuan strategis. PIP adalah program bantuan sosial (social assistance) yang bertujuan menjaga agar anak-anak dari keluarga kurang mampu tetap bisa bersekolah. Sementara ADEM adalah program beasiswa investasi (investment scholarship) yang bertujuan mencetak agen-agen perubahan dari daerah yang paling tertinggal.
Kedua program ini seharusnya tidak dilihat sebagai pesaing, melainkan sebagai dua strategi yang saling melengkapi dalam peta kebijakan pendidikan Indonesia. PIP berfungsi sebagai “jaring pengaman sosial” yang menjaga angka partisipasi sekolah dasar dan menengah tetap tinggi. Sementara ADEM berperan sebagai “pembuka jalan” yang memastikan bahwa anak-anak berpotensi dari daerah paling terpencil sekalipun memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan berkualitas dan bersaing di tingkat nasional.
Baik PIP maupun ADEM adalah program yang penting dalam konteks mereka masing-masing. PIP berjuang di garis depan untuk memerangi putus sekolah secara massal, sementara ADEM melakukan intervensi strategis untuk menciptakan pemerataan yang lebih berkeadilan.
Dengan strategi yang tepat dan implementasi yang baik, sinergi antara PIP dan ADEM dapat menjadi motor penggerak yang powerfull untuk mengurangi kesenjangan pendidikan dan memajukan sumber daya manusia Indonesia dari semua lapisan dan pelosok negeri. (*)


