Mataram (Suara NTB) – Pasca-ditetapkannya kebijakan pemerintah pusat terkait harga eceran tertinggi (HET) beras premium sebesar Rp14.900 per kilogram, sejumlah merek beras lokal dilaporkan menghilang dari rak ritel modern. Hal ini terutama terjadi karena sejumlah produsen tidak mampu menyesuaikan harga jual dengan ketentuan pemerintah.
Operational Manager MGM Supermarket, Hasbi mengatakan, meski stok beras di tokonya masih tergolong aman, pihaknya mencatat ada beberapa merek lokal yang sebelumnya rutin dijual, kini tidak lagi tersedia.
“Stok masih aman karena beberapa pengusaha beras bisa menyesuaikan. Tapi memang ada beberapa merek seperti Salam Sejahtera Hijau, Salam Coklat, dan beberapa lainnya yang sudah tidak masuk lagi ke rak karena tidak bisa menyesuaikan dengan HET,” ujarnya, Kamis, 9 Oktober 2025.
Menurutnya, permintaan terhadap beras premium saat ini masih tinggi. Namun, sebagian konsumen yang terbiasa menggunakan merek tertentu kini terpaksa beralih ke produk yang tersedia.
“Banyak pelanggan yang tetap cari merek langganannya, terutama Salam Sejahtera. Tapi karena tidak tersedia, akhirnya mereka pindah ke stok premium lain yang ada sekarang,” ungkapnya.
Hasbi menjelaskan, salah satu alasan mengapa merek seperti Salam Sejahtera Hijau tidak lagi diproduksi untuk pasar retail adalah karena perbedaan standar kualitas dan biaya produksi.
Ia juga menyebutkan, beras premium yang saat ini dijual dengan HET mengandung patahan sekitar 15 persen, sementara kualitas beras Salam Sejahtera Hijau memiliki tingkat patahan di bawah 15 persen, sehingga membutuhkan biaya produksi lebih tinggi.
“Karena tidak sesuai standar harga premium yang ditetapkan pemerintah, pengusahanya tidak mengemas lagi dengan merek itu. Mereka beralih mengemas beras yang bisa masuk ke klasifikasi HET,” jelasnya.
Selain faktor harga, Hasbi juga menambahkan bahwa beberapa merek lokal hilang dari peredaran karena berasal dari pengusaha berskala kecil, dengan kapasitas penggilingan terbatas. Akibatnya, mereka tidak bisa memenuhi standar distribusi dan volume penjualan di pasar ritel modern.
“Beberapa pengusaha kecil memang kesulitan bersaing dalam skema ini, bukan hanya soal harga, tapi juga soal kemampuan produksi,” jelasnya.
Pihaknya berharap, ke depan akan ada regulasi turunan atau kebijakan pendukung yang dapat mengakomodasi keberlangsungan usaha beras lokal, khususnya bagi pengusaha skala kecil yang menghasilkan beras berkualitas, agar tetap bisa bersaing di pasar tanpa harus mengorbankan kualitas dan keberlanjutan usaha. (pan)


