Ardani *)
Dalam rangka memenuhi mandat konstitusional untuk menyediakan pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) telah menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 9 Tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik (TKA). Peraturan ini telah diundangkan pada tanggal 3 Juni 2025 dan menjadi momen penting dalam upaya penguatan sistem penilaian capaian akademik yang terstandar, objektif, dan inklusif di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Survei Katadata Insight Center (KIC) pada Agustus 2025 merekam sentimen publik khususnya orang tua bahwa skema seleksi baru yang melibatkan TKA dipandang lebih adil, transparan, dan mampu memitigasi kecurangan dibanding pola lama. TKA dinilai komponen penting dalam seleksi karena memberi ukuran yang lebih objektif dan seragam lintas daerah/sekolah.
Temuan tersebut selaras dengan komunikasi kebijakan pemerintah yang menegaskan TKA sebagai instrumen pemetaan dan penyetaraan (termasuk bagi pendidikan nonformal/informal) dan bukan satu-satunya penentu kelulusan posisinya sebagai standar rujukan nasional.
Sebagai konteks normatif, laman resmi TKA Kemendikbudristek menegaskan tujuan TKA: memperoleh informasi capaian akademik terstandar untuk keperluan seleksi, menjamin akses dan penyetaraan, serta memberi umpan balik bagi murid dan pendidik.
Secara filosofis, penulis coba merangkum setidaknya ada 3 (tiga) kajian filosofis dari pentingnya penerapan TKA di kalangan siswa ;
- Keadilan sebagai Kesetaraan Peluang (Rawlsian fairness).
Dalam kerangka Rawls, kebijakan seleksi yang adil memaksimalkan kesetaraan kesempatan bagi peserta didik dengan latar sosial-ekonomi beragam. TKA/TPA yang terstandar meminimalkan bias antarsekolah (misalnya inflasi nilai rapor) dan perbedaan kualitas penilaian guru. Dengan instrumen yang sama dan prosedur yang transparan, kebijakan ini menurunkan “noise” sistemik dan memperkuat fairness prosedural. Temuan KIC bahwa publik melihat TKA meningkatkan keadilan memperkuat argumen ini. - Meritokrasi yang Berkeadilan (merit with equity).
Meritokrasi murni sering dikritik karena mengabaikan modal awal yang tidak setara. TKA yang bukan satu-satunya faktor seleksi, melainkan bagian dari portofolio (rapor, prestasi, afirmasi), memungkinkan kalibrasi merit dengan kebijakan afirmatif (mis. kuota wilayah, afirmasi keluarga prasejahtera, disabilitas). Ini menjembatani merit dengan capability approach (Sen/Nussbaum): yang diukur bukan sekadar hasil akhir, tetapi potensi dan peluang yang dibuka oleh sistem bagi tiap peserta. - Epistemologi Pengukuran: Validitas, Reliabilitas, dan Fairness Psikometrik.
Secara filosofis-epistemik, sebuah tes berkeadilan harus: Valid (mengukur konstruk kemampuan berpikir/bernalar yang relevan dengan kesiapan akademik), Reliabel (hasil konsisten), dan Adil lintas kelompok (measurement invariance; tanpa bias budaya/linguistik yang signifikan).
Kebijakan TPA/TKA hanya bernilai etis bila diiringi audit psikometrik independen, analisis DIF (Differential Item Functioning), dan pelaporan publik metodologinya. Temuan KIC tentang kepercayaan publik memberi “modal sosial” untuk melanjutkan tes, tetapi legitimasi epistemiknya ditentukan oleh mutu desain dan keterbukaan metodologi.
Perlukah TPA/TKA Dilanjutkan?
Berdasarkan dukungan dan persepsi positif publik (KIC) serta tujuan kebijakan yang menekankan pemetaan dan penyetaraan, kelanjutan TPA/TKA layak dilanjutkan dengan beberapa catatan penguat legitimasi:
Legitimasi demokratis: Survei KIC menunjukkan mandat sosial untuk instrumen seleksi yang objektif dan transparan.
Legitimasi legal: Payung UUD 1945, UU Sisdiknas, dan regulasi standar penilaian memberi kewenangan jelas untuk tes terstandar sebagai bagian dari penjaminan mutu dan seleksi.
Legitimasi teknokratik: TKA berfungsi sebagai barometer nasional lintas sekolah/daerah, mengurangi ketidakseragaman dan memperkuat akuntabilitas sistem. Pernyataan resmi pemerintah mempertegas fungsi ini.
Dengan membaca mandat sosial dari survei KIC—bahwa publik menilai TKA meningkatkan keadilan, transparansi, dan pemerataan serta dukungan kerangka yuridis yang jelas, kelanjutan TPA/TKA layak diteruskan sebagai instrumen standar pemetaan nasional yang objektif. Namun, legitimasi kebijakan akan ditentukan oleh mutu psikometrik, proporsionalitas bobot dalam seleksi, kepatuhan perlindungan data, dan jaminan akses yang setara. Bila empat prasyarat ini ditegakkan, TKA tidak hanya sah secara hukum dan dibenarkan secara moral, tetapi juga berfaedah secara pedagogis mendorong ekosistem pendidikan yang lebih adil, akuntabel, dan adaptif ke depan.
Adapun hasil TKA memiliki fungsi strategis dalam mendukung berbagai kebijakan pendidikan, yakni 1) sebagai dasar seleksi jalur prestasi dalam penerimaan murid baru tingkat SMP, SMA dan SMK; 2) menjadi salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi jalur prestasi; 3) mendukung penyetaraan hasil belajar bagi peserta didik dari jalur nonformal dan informal; 4) menjadi referensi dalam proses seleksi akademik lainnya, serta 5) menjadi acuan penting dalam sistem pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang agama, dan pemerintah daerah. Untuk tahun ini TKA baru dilaksanakan untuk kelas 12 SMA atau kelas akhir SMK. Sementara untuk SD dan SMP, TKA akan dilaksanakan tahun 2026.
*) Aktivis Solidaritas Perempuan Sumbawa


