Tanjung (Suara NTB) – Registrasi lahan porang oleh Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan (DKP3) Kabupaten Lombok Utara (KLU) ke Pemprov NTB masih menunggu kepastian alokasi anggaran perubahan 2025. DKP3 berharap, usulan dana Rp 100 juta untuk pendataan dan pendampingan Tim Provinsi, terealisasi sehingga syarat registrasi lahan tak menghambat proses jual beli porang milik petani kepada perusahaan.
Hal tersebut dikemukakan Kepala Dinas KP3 KLU, Tresnahadi, S.Pt., Selasa, 21 Oktober 2025. Ia menjelaskan, pihaknya akan langsung memproses registrasi manakala anggaran yang sudah disetujui oleh DPRD dalam hearing dengan Koperasi (Porang) BGL beberapa waktu lalu, tersedia pada APBD Perubahan.
“Kita sudah hasilkan kesepakatan atas dasar hearing koperasi porang dengan DPRD kemarin, registrasi lahan ini kita kawal bersama. Kita sudah usulkan Rp 100 juta, mudahan bisa dipenuhi oleh TAPD,” ujar Tresnahadi.
Dirinya optimis, status lahan yang nantinya diregistrasi tidak akan menghambat proses transaksi hasil produksi porang petani. Mengingat tidak hanya eksekutif, DPRD juga memberi dukungan kuat bagi keberlangsungan ekonomi dari budidaya porang yang sudah dikembangkan secara massif oleh petani.
“Registrasi lahan menjadi kewenangan provinsi. Tugas kabupaten adalah mendampingi Tim Provinsi saat turun ke lapangan. Insyaallah, registrasi ini tidak jadi hambatan. Kita optimis bisa cepat dilakukan di anggaran perubahan ini,” ujarnya.
Terpisah, Ketua Koperasi Porang BGL, Putra Anom, menegaskan pihaknya sudah menjalin kesepakatan (MoU) jual beli porang tahun 2026 dengan PT. SPR, yang beroperasi di Lombok Timur. Kapasitas suplai bahan baku porang yang disepakati adalah sebanyak 2.000 ton atau 2.000.000 kilogram. Hanya saja kata dia, kerja sama BGL dengan PT. SPR masih harus diikuti oleh persyaratan yaitu rekomendasi pengajuan sertifikasi lahan petani.
“Kami di Koperasi BGL masih menunggu langkah Pemda melalui DKP3 untuk mendata dan memproses sertifikasi lahan ke Dinas Provinsi ,” ujarnya.
Anom menegaskan, persyaratan di perjanjian kerja sama masih bisa menyusul seperti sertifikasi lahan petani. Idealnya syarat ini sudah terselesaikan karena sejak 2018, persoalan ini sudah disuarakan oleh BGL. Terlebih lagi, Kementerian Pertanian sudah mengeluarkan Himbauan dan aturan, dimana semua komoditas pertanian di Indonesia yang menjadi komoditas ekspor wajib disertai sertifikasi lahan petani. (ari)

