Mataram (Suara NTB) – Laporan dugaan pungutan di sejumlah satuan pendidikan jenjang SMA/SMK meningkat. Ombudsman Perwakilan NTB menyebut, ada sekitar 35 laporan masuk berkenaan dengan dugaan pungutan di sekolah.
Menanggapi jumlah laporan yang signifikan itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB meminta agar sekolah tidak lagi melakukan pungutan.
Hal itu agar sejalan dengan mandat Surat Edaran (SE) Gubernur NTB No: 100.3.4/7795/Dikbud/2025 tentang Moratorium Pemungutan BPP.
SE itu meminta agar pemungutan BPP ditunda sementara, menunggu hasil evaluasi terhadap Pergub No 44 Tahun 2018 tentang BPP.
Sebagai alternatifnya, pemenuhan biaya penyelenggaraan pendidikan diserahkan ke komite dengan skema sumbangan.
Sekretaris Dinas Dikbud NTB, Arifin beberapa waktu lalu menegaskan agar sekolah tidak lagi melakukan pungutan. Pasalnya, perbuatan itu melanggar aturan yang berlaku.
“Itulah yang melanggar. Kami tidak pernah menginformasikan seperti itu. Dan, beberapa kali kami sosialisasikan secara langsung maupun secara online itu. Kami sudah wanti-wanti, jangan laksanakan di luar aturan yang sudah ditentukan,” ujarnya.
Arifin juga memastikan akan ada sanksi bagi sekolah yang melakukan pungutan di sekolah. Bahkan, sekolah tersebut berpotensi akan berhadapan dengan aparat penegak hukum (APH) jika terbukti melakukan pungutan.
“Kami dari Dikbud kalau kami menemukan kami akan memberikan sanksi mungkin berupa teguran dulu, pembinaan-pembinaan,” tegasnya.
Langkah tegas Dikbud ini penting untuk memastikan sekolah tidak lagi melakukan pungutan dan menjalankan instruksi SE Gubernur tentang moratorium BPP.
Sementara itu, Ombudsman NTB melaporkan maraknya kasus dugaan pungutan berkedok sumbangan di sejumlah SMA/SMK di NTB.
“Sumbangan yang ditetapkan jumlahnya, yang seharusnya sukarela tidak ditentukan jumlahnya, tapi dalam praktiknya kita menerima laporan praktiknya pungutan,” ujar Arya, Rabu (15/10/2025).
Arya menyebut, sejauh ini pihaknya sudah menerima 35 laporan masyarakat terkait dugaan praktik pungutan. Jumlah ini terbilang meningkat dari jumlah laporan sebelumnya dan tersebar hampir di seluruh kabupaten di NTB.
“Yang jelas meningkat di Kabupaten Lombok Utara ada, di Mataram ada, kemudian di Lombok Timur ada, bahkan ada yang baru masuk juga ada yang konsultasi,” bebernya.
Arya menerangkan, perbedaan penafsiran tentang mekanisme sumbangan menjadi alasan kenapa praktik pungutan masih terjadi.
Menurutnya, ketiadaan panduan tentang tata cara pelaksanaan sumbangan membuat sejumlah satuan pendidikan bebas tafsir terhadap pelaksanaan sumbangan di sekolah.
“Tidak ada panduan dari Dinas Pendidikan (Dikbud) hingga penerapannya sekolah ini menafsirkan sendiri-sendiri, komite menafsirkan masing-masing praktiknya,” tutur Arya.
Arya menekankan perlunya pengawasan serta pemantauan oleh pihak terkait seperti Dikbud NTB dan Inspektorat terhadap pelaksanaan sumbangan di sekolah.
Aspek pemantauan itu juga sudah tertera di SE Gubernur tentang penundaan BPP di sekolah. Pada Nomor 1 poin C, Kepala Dikbud diminta untuk memantau, menyosialisasikan, serta mengevaluasi SE Gubernur itu.
“Itulah yang harus dikawal sesuai dengan SE Gubernur itu kan ada di situ poin-poin yang menyebut pengawasan oleh inspektorat, sosialisasi seharusnya bagaimana Dikbud untuk memberikan pemahaman sesuai dengan apa yang menjadi pengertian sumbangan itu,” tandasnya. (sib)


