Mataram (Suara NTB) – Ketua DPRD Provinsi NTB, Hj. Baiq Isvie Ruapaeda menyoroti masih besarnya tantangan yang dihadapi dalam pembangunan perempuan di wilayah Provinsi NTB. Dukungan kebijakan sudah cukup baik untuk perempuan, namun diakuinya masih lemah dalam tataran implementasinya.
Dikatakan Isvie bahwa hambatan terbesar dalam pembangunan memajukan perempuan, salah satunya adalah masih kuatnya budaya patriarki, terutama di NTB. Dimana perempuan masih dipandang sebagai manusia kelas dua, sehingga prioritas dalam berbagai aspek pembangunan, khususnya dalam pengambilan kepemimpinan masih menjadi milik kelompok laki-laki.
“Budaya patriarki masih membatasi ruang partisipasi dan kepemimpinan perempuan, sehingga berdampak pada keterbatasan akses terhadap sumber daya seperti modal, pelatihan, teknologi, dan posisi pengambilan keputusan,” sebut Isvie.
Hal itu disampaikan Isvie saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional yang digelar Program Studi Sosiologi Universitas Mataram. Seminar tersebut mengangkat tema “Dukungan Regulasi yang berpihak pada Peningkatan Akses, Kapasitas, dan Kesejahteraan Perempuan”.
Disebutkan oleh perempuan pertama yang menjadi Ketua DPRD Provinsi NTB itu bahwa pemerintah daerah sudah banyak membuat regulasi dalam bentuk Perda terkait dengan pemberdayaan perempuan.
Akan tetapi regulasi-regulasi yang sudah ada tersebut diakuinya masih belum maksimal mendongkrak meningkatkan pembangunan perempuan. Sebab persoalan utama bukan terletak pada banyaknya regulasi yang telah dibuat, melainkan pada sejauh mana regulasi tersebut berjalan secara optimal.
“Sudah ada Perda, tidak ada Pergub, ada Pergub, tidak ada anggaran. Maka disini pentingnya kesinambungan kebijakan dan dukungan anggaran agar implementasi regulasi benar-benar berpihak pada perempuan,” ujar Isvie menggambar kendala-kendala tekhnis yang dihadapi dalam upaya pembangunan perempuan di NTB.
Oleh karena itu Isvie kemudian mendorong agar pembangunan perempuan tidak bisa hanya mengandalkan upaya dari pemerintah saja. Tapi semua pihak harus memiliki pandangan yang sama dalam melihat kebutuhan pembangunan perempuan.
“Perempuan harus diposisikan sebagai subjek pembangunan, bukan lagi sekadar objek. Sebagai rekomendasi, Ketua DPRD NTB mendorong lahirnya regulasi dan kelembagaan yang lebih responsif gender, serta memperkuat sinergi antara pemerintah, DPRD, akademisi, dan masyarakat,” pungkasnya. (ndi)


