ANGGOTA Komisi II DPRD Kota Mataram, Misban Ratmaji, SE., mengingatkan pentingnya pemasangan papan pengumuman larangan berjualan di sejumlah titik strategis kota. Ia menilai ketidaktegasan pemerintah dalam menata pedagang kaki lima (PKL) membuat trotoar dan bahu jalan semakin semrawut serta mengganggu ketertiban umum.
Kepada Suara NTB, melalui sambungan telepon, Kamis, 30 Oktober 2025, Misban menyebut dirinya telah lama mengusulkan agar papan larangan berjualan dipasang di area publik. Namun, usulan itu tidak kunjung direalisasikan hingga kondisi kini sulit dikendalikan.
“Saya sudah lama sekali, mungkin 5 sampai 10 tahun lalu, menyarankan untuk memasang pengumuman ‘dilarang berjualan’ di sekitar tempat ini. Karena tidak ada larangan tertulis, orang berasumsi boleh berjualan di mana saja,” ujar Misban.
Menurut Politisi Hanura ini, tanpa dasar larangan yang jelas, masyarakat akan menafsirkan area publik sebagai tempat yang sah untuk berjualan. Hal inilah yang akhirnya memicu munculnya lapak-lapak liar di trotoar dan sepanjang ruas jalan utama.
“Sekarang lihat saja, semua trotoar hampir dipakai untuk jualan, termasuk di Panji Tilar dan sepanjang Jalan Udayana. Di Loang Baloq juga, sisi barat sudah penuh dengan PKL,” tambahnya.
Misban bahkan secara satir menyebut Mataram kini layak dijuluki sebagai “Kota PKL” karena maraknya pedagang di ruang publik. Ia menilai kondisi ini tidak hanya mengganggu keindahan kota, tetapi juga memperburuk kelancaran lalu lintas karena pembeli memarkir kendaraan di badan jalan.
Misban juga menyoroti lemahnya tindakan persuasif dari aparat dalam menertibkan para pedagang. Padahal, menurutnya, penertiban bisa dilakukan secara bertahap tanpa harus menggusur secara mendadak.
“Jangan sudah penuh baru kita melarang. Nanti kesannya menggusur. Mumpung belum semua dipakai, segera pasang pengumuman larangan berjualan dan larangan buang sampah di tempat-tempat kosong,” jelasnya.
Sebagai langkah awal, ia mengusulkan agar Dinas terkait segera mencetak dan memasang papan larangan di berbagai titik, terutama di ruas-ruas jalan yang masih belum dipadati PKL seperti Jalan Lingkar Kota dan kawasan kantor pemerintahan.
“Biayanya tidak besar, barang seratus atau dua ratus papan pengumuman saja sudah cukup. Seperti tanda larangan parkir, kalau sudah ada tulisan ‘Dilarang’, orang akan berpikir ulang untuk melanggar,” ucap anggota dewan dari daerah pemilihan Ampenan ini.
Misban mencontohkan pengalaman Kota Surabaya pada awal tahun 2000-an, ketika penataan PKL memakan biaya besar akibat keterlambatan pemerintah dalam mengambil tindakan. Ia berharap Mataram tidak mengulangi kesalahan serupa.
“Kalau di Surabaya dulu, trotoar sampai lebih mahal dari toko. Menata ulang butuh biaya tinggi. Di Mataram ini sebenarnya masih bisa ditertibkan asal cepat bertindak,” pungkasnya. (fit)

