Angin di pinggir Pantai Ampenan terasa sangat kencang. Ombak bersahutan menghempas bibir pantai. Perahu nelayan nyaris tidak ada satupun di parkir di bibir pantai. Nelayan menaikkan perahu ke atas. Perahu nelayan menutupi jalan di Lingkungan Bugis, Kelurahan Bintaro Jaya.
SUPARDI (40), nelayan di Lingkungan Bugis, duduk di gazebo bersama tiga nelayan lainnya. Gazebo yang dibangun persis di pinggir pantai itu, tak lagi berdiri tegak. Tiang belakang tak mampu menopang beban, karena terus dihempas gelombang. Supardi terus memegang ikan tongkol ukuran sedang di tangannya. Ikan tongkol itu, hasil ngujur alias pemberian nelayan yang dibantu saat menaikkan dan membongkar ikan muatan ke darat. Ikan hasil ngujur akan dijadikan lauk berbuka puasa bersama istri dan empat orang anaknya.
Supardi empat hari libur melaut. Gelombang tinggi dan angin kencang menjadi alasan utama. Ia tidak ingin mengambil resiko seperti nelayan lainnya. Nyawa dinilai lebih berharga daripada ratusan bahkan ribuan ikan tongkol yang terperangkap dalam jaring.
Ia mengakui, hasil tangkapan ikan tongkol sedang ramai. Satu nelayan memperoleh ribuan ekor ikan tongkol.
Keuntungan sudah pasti diperoleh nelayan itu, tetapi bukan keuntungan dicari Supardi, melainkan lebih memikirkan keselamatan. “Lihat sendiri ombak dan anginnya. Daripada mengambil resiko, lebih baik saya kumpul di rumah bersama anak dan istri,” tutur Supardi ditemui pada Jumat (15/3).
Kondisi cuaca seperti ini, dialami setiap tahun. Supardi tak pernah memaksakan kehendak untuk turun melaut. Memperbaiki jaring atau sampan menjadi pilihan selama beberapa hari libur.
Ia mengaku, hasil tangkapan tak menentu. Jika beruntung dengan tangkapan melimpah, satu nelayan mendapatkan keuntungan Rp1 juta – Rp2,5 juta. Keuntungan ini belum termasuk biaya bahan bakar dan bekal selama di laut. Sebaliknya, jika lagi apes, ia hanya bisa menghitung biaya untuk operasional berikutnya. “Kalau begini ini tidak menentu. Saya pernah dapat untung Rp2,5 juta sehari, tapi kadang ndak ada dapat kita,” ulasnya.
Saat libur melaut darimana pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Bagi nelayan yang pintar mengatur keuangan, maka tidak terlalu kesulitan memenuhi kebutuhan dapur. Akan tetapi, banyak nelayan yang harus meminjam uang atau berutang ke pelele (tengkulak,red).
Pelele memiliki peran penting dalam kehidupan para nelayan di Ampenan. Pelele menyiapkan modal dan hasil tangkapan nelayan harus disetor ke mereka.
Harga jual ikannya relatif bagus. Misalnya, nelayan menjual Rp12 ribu per gantus (ikat,red), maka pelele menjual Rp15 ribu ke pedagang. “Iya, sama-sama untung. Kalau ndak ada pelele ndak ada modal untuk melaut. Berhutang dulu sementara ini,” timpalnya.
Hal senada disampaikan Sardi. Ia tidak ingin mengambil resiko turun melaut dengan kondisi cuaca ekstrem saat ini. Meskipun ikan tangkapan nelayan melimpah, tetapi nyawa dinilai paling berharga. “Kalau saya mending istirahat dulu. Ndak apa-apa sudah banyak ikan yang naik,” ujarnya.
Sama seperti disampaikan Suhardi. Sardi juga memilih meminjam uang ke pelele selama libur melaut. Alasannya sederhana, tidak ada jaminan apapun yang harus diserahkan. Timbal balik adalah, ikan tangkapan dijual ke pelele dengan sama-sama mendapatkan keuntungan. “Ngutang saja ke pelele dulu,” ucapnya sambil tertawa.
Sardi dan Suhardi berharap kondisi cuaca bisa segera berangsur membaik, sehingga mereka bisa kembali beraktivitas dengan hasil tangkapan ikan tongkol yang melimpah. (cem)