Giri Menang (Suara NTB) – Kasus kekerasan anak di lingkungan satuan pendidikan di Lombok Barat (Lobar) meningkat. Tahun lalu terjadi tujuh kasus, sedangkan tahun ini hingga Agustus mencapai delapan kasus. Pihak Pemkab Lobar melalui OPD terkait berupaya menekan kasus. Sedangkan untuk kasus pernikahan dini atau usia anak diklaim menurun.
Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Perempuan dan Anak (P2A) Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Lobar, Mustilkar menerangkan kasus kekerasan di lingkup pendidikan tidak terlalu tinggi. Kendati demikian harus dilakukan penanganan serius.
Ia menyebutkan angka kasus kekerasan anak di lingkup satuan pendidikan tahun ini hingga bulan Agustus mencapai 8 kasus, sedangkan tahun lalu ada 7 kasus. “Tahun ini ada 8 kasus (kekerasan anak) di lingkungan satuan pendidikan, tahun lalu 7 kasus,” sebutnya, kemarin.
Secara umum, jelasnya, kasus mencakup kekerasan anak, pernikahan anak dan lainnya menurun dari 140 menjadi 100 kasus. Sedangkan tahun ini ada 79 kasus. “Terjadi penurunan,” katanya.
Dikatakan sistem pendataan yang dilakukan berbeda dengan tahun lalu, tahun lalu pernikahan anak tidak masuk SIMPONI. Mulai tahun ini, pernikahan anak itu masuk kekerasan anak. Sehingga jumlahnya pun semakin besar, karena masuknya pernikahan usia anak itu. “Masuk ke kekerasan lainnya,” sambungnya.
Kalau dirinci, dari 79 kasus tersebut, terdapat 21 kasus pernikahan anak. Sedangkan sisanya ada 58 kekerasan anak. Pihaknya berharap kasus ini tidak melonjak, sehingga dibanding tahun lalu bisa turun jumlah kasusnya. Langkah pencegahan yang dilakukan, di satuan pendidikan sudah dibentuk Satgas TPPK yang melintas lintas sektor, yakni Dikbud, Dinsos, DP2KBP3A dan OPD lainnya. ”Tugas TPPK ini adalah dari tata kelolanya, edukasi dan penanganan,” jelasnya.
Untuk tingkat SMP, sudah hampir 70 persen sudah dibentuk TPPK, sedangkan SD lebih tinggi. Yang belum maksimal TPPK di tingkat PAUD, sehingga masih menjadi PR. Sejauh ini sudah berjalan kegiatan bimtek di tingkat SMP dan SD. Sedangkan untuk PAUD dan TK belum. Sedangkan untuk kasus pernikahan dini atau usia anak, dari 2.000 lebih pernikahan yang ada di Lobar, hanya sekitar 7 persen kasus pernikahan anak yang ada di Lobar.
“Angka pernikahan anak pada 2023 ada 178 dari 2.000 an pernikahan, itu hanya sekitar 7 persen,” sebutnya.
Angka pernikahan 7 persen tersebut masuk dalam kasus yang sudah dilaporkan, karena semua proses pernikahan harus dilaporkan. Sedangkan, untuk pendataan dari tim DP2KBP3A langsung turun ke lapangan untuk pendampingan pencegahan stunting.
Menurut datanya, turun dari 2022 ke 2023 dari 16 persen ke 7 sekian persen. Dengan angka tersebut, dirinya merasa keberatan jika kasus pernikahan anak disebut marak terjadi di Lobar. “Itu menurun. Kalau dibilang marak juga kami kurang setuju. Karena kalau marak itu setiap hari,” terangnya.
Untuk kecamatan dengan angka tertinggi menurutnya ada di tiga kecamatan. Seperti di Narmada, Lingsar, dan Sekotong. Dan dari kasus tersebut tidak ada yang melanjutkan sekolah dengan rentan usia 16 tahun sampai 18 tahun. “Ada yang SMP dan SMA, yang paling banyak SMA. Kami pernah berhasil membelas 50 kasus, dan 7 nya sudah tidak dapat dibelas,” jelasnya.
Menurutnya, aturan ini sudah diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) pada tahun 2018 Nomor 30 tentang Pencegahan Pernikahan Anak. Yang selanjutnya, pada 2019 diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) terkait hal tersebut. Meski di desa saat ini belum ada peraturan desa (perdes) atau lembaga perlindungan anak tetapi kepala desa (kades) tetap melakukan pencegahan.(her)