Giri Menang (Suara NTB) – Trade and Distribution Centre (TDC) dari program Mahadesa milik PT.GNE yang ada di Desa Kuripan Utara, Kecamatan Kuripan, Lombok Barat (Lobar) lama tak beroperasi. Bangunan TDC tersebut pun terpaksa dialihfungsikan.
Sekretaris Desa Kuripan Utara, Ahmad Mas’ud menjelaskan, TDC tersebut dibangun antara tahun 2019 dan 2020 lalu. Mangkraknya TDC tersebut terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara konsep yang ditawarkan PT GNE saat menawarkan, dengan konsep yang dijalankan saat beroperasi. “Awalnya menjadi pilot project yang juga ketertarikan kami dengan konsep yang ditawarkan itu,” terangnya ditemui Rabu, 7 Agustus 2024.
Konsep yang ditawarkan lebih kepada penjualan secara ritel dengan sistem pembayaran Shoppee Payletter. Yang pada saat itu memanfaatkan momen Covid-19 dengan itu masyarakat cukup hanya memesan melalui online. Lalu dibentuklah agen per dusun untuk mengumpulkan konsumen dan didata sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Setelah terkumpul, agen menyetor ke pihak sentral desa. Yang kemudian nanti kebutuhan didistribusikan dengan sistem pembayaran payletter. “Bisa bayar minggu depan, atau dua minggu setelahnya,” jelasnya.
Namun, program tersebut mangkrak dengan dalih tidak bisanya PT GNE memenuhi kebutuhan konsumen yang ada di masing-masing agen. Otomatis, komunikasi antara pihak Desa dengan PT GNE terputus. “Apa yang mereka mau jual? Sementara barang dagangannya tidak ada,” cetusnya.
Pada akhir 2021 lalu, melalui musyawarah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kuripan Utara program tersebut dihentikan. Tidak dilanjutkan dengan segala risiko yang ada dan soal pembiayaan yang tidak dilunasi. “Kita sepakati untuk diberhentikan,” ujarnya.
Pada saat pemutusan kontrak, PT GNE tidak memberikan desa alasan pasti terkait kendala program tersebut. Bahkan, kedatangan PT GNE pada saat itupun untuk menagih kekurangan penyertaan modal yang dilakukan desa. “Yang bisa kami bayar pun hanya bangunan. Tapi kan bagaimana kita mau bayar, mau kita manfaatkan juga tidak bisa kan,” ucapnya. Pihak Desa pun telah menggelontorkan dana kepada TDC tersebut. Sesuai kesepakatan kedua pihak, desa menyertakan modal setengah dari kesepakatan.
Disebutkan dana yang diserahkan di bawah Rp 100 juta. Dengan rincian pembiayaan untuk bangunan berkisar Rp80 juta, sistem perangkatnya sekitar Rp 70 juta. “Jadi kita hanya ditinggalkan bangunannya saja. Komputer dan sebagainya masih d isana tapi sudah tidak bisa difungsikan,” bebernya.
Namun, penyerapan keuntungan oleh desa lantas nihil. Karena TDC pun beroperasi kurang dari kurun waktu satu tahun. Berimbas kepada agen-agen per dusun yang telah bekerja, kemudian di rumah masing-masing agen telah disediakan tempat barang tapi hingga saat ini tidak berjalan.
“Jadi hanya baru beberapa kali order barang lewat agen di masing-masing dusun mereka tidak bisa dipenuhi,” pungkasnya. Daripada bangunan itu tidak dimanfaatkan, akhirnya pihak desa menggunakan sementara waktu untuk keperluan lainnya yang lebih bermanfaat. (her)
Recent Comments