Sumbawa Besar (Suara NTB) – Penyidik Kejaksaan Negeri Sumbawa, akan memanggil ulang sejumlah saksi yang belum hadir dalam penanganan dugaan korupsi pengelolaan anggaran Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD Sumbawa tahun 2022.
“Jadi, ada beberapa saksi yang belum kita periksa, sehingga kita akan lakukan penjadawalan ulang terhadap mereka untuk kita mintai keterangan lebih lanjut,” kata Kasi Intelejen Kejari Sumbawa kepada Suara NTB, Rabu, 21 Agustus 2024.
Pemeriksaan saksi tersebut lanjut Zanuar untuk mendalami perbuatan melawan hukum (PMH) di kasus tersebut yakni dugaan mark up anggaran di proses penyedian barang dan jasa. Indikasi PMH tersebut ditemukan setelah melakukan pemeriksaan belasan orang saksi.
“Itu indikasi awal kita, kami juga masih terus melakukan pemeriksaan saksi lainnya di tahap penyidikan,” katanya.
Disinggung terkait potensi calon tersangka di kasus itu, dia enggan memberikan informasi lebih lanjut, karena masih di tahap penyidikan awal. Pihaknya juga akan segera berkoordinasi dengan auditor sebagai saksi ahli dalam penanganan kasus tersebut.
“Kalau untuk calon tersangka bisa lebih dari satu orang, tetapi untuk saat ini kita masih perkuat alat bukti terlebih dahulu,” timpalnya.
Pengusutan terhadap kasus tersebut, berkaitan dengan hasil LHP BPK-RI tahun 2022 lalu. Dimana ditemukan adanya kelebihan pembayaran yang dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen (PPK) terhadap rekanan penyedia (kontraktor) di pelaksanaan sejumlah kegiatan.
Kelebihan pembayaran itu ditemukan pada pekerjaan pembangunan pagar, paving block dan rehabilitasi ruang rawat. Selain itu ada anggaran makan minum di RSUD Sumbawa yang masuk dalam item temuan BPK-RI.
“Jadi, temuan-temuan tersebut masih terus kita dalami dengan pemeriksaan saksi dan alat bukti lainnya,” tukasnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Suara NTB, di hasil audit kepatuhan tahun 2022 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan dugaan penyimpangan anggaran senilai Rp1,87 miliar. Masalah ini juga menjadi fakta persidangan dengan terdakwa dr. Dede Hasan Basri di kasus suap dan gratifikasi.
Bahkan di LHP BPK juga sudah jelas yang bertanggung jawab atas munculnya kerugian negara itu adalah Direktur RSUD Sumbawa. Kerugian negara tersebut muncul dari adanya kelebihan pembayaran yang dilakukan PPK ke sejumlah rekanan. (ils)