spot_img
Jumat, Oktober 11, 2024
spot_img
BerandaEKONOMISampah di Daerah Wisata dan Solusi Permanen dari Pemerintah

Sampah di Daerah Wisata dan Solusi Permanen dari Pemerintah

Objek wisata tiga Gili (Trawangan, Meno dan Air) di Kabupaten Lombok Utara (KLU) merupakan daerah tujuan wisata di Indonesia. Sebagai objek wisata yang menjadi tujuan wisatawan, banyak permasalahan yang terjadi. Selain masalah air bersih, sampah juga adalah satu persoalan yang membutuhkan perhatian khusus dan serius. Dalam mengatasi sampah, Pemerintah KLU mengaku kesulitan. Kenapa?

PERMASALAHAN pengelolaan sampah di Gili Trawangan masih menjadi persoalan serius yang belum usai. Hal itu ditemukan oleh Tim Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wilayah V ketika melakukan tinjauan lapangan di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Gili Trawangan, KLU tanggal 18 Agustus 2024 lalu.

H. Djohan Sjamsu (Ekbis NTB/dok)

Dikutip dari siaran resmi di kanal kpk.go.id, hulu permasalahan diketahui berkaitan dengan penumpukan sampah, yang bahkan mencapai tinggi 9,5 meter, dan tidak bisa lagi didaur ulang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gili Trawangan.

Kepala Satuan Tugas Direktorat Korsup KPK, Dian Patria, menegaskan penumpukan sampah di kawasan wisata ini bukan hanya masalah lingkungan. Tetapi juga mencerminkan lemahnya tata kelola yang berpotensi merugikan daerah secara ekonomi dan layanan publik yang diberikan.

“Di Gili Trawangan, saat high season volume sampah yang dihasilkan mencapai 18 ton dan low season 15 ton per hari, namun kapasitas pengolahan hanya sekitar 2 hingga 3 ton saja per hari. Artinya, hanya 16 persen yang bisa diproses setiap harinya. Ada selisih besar yang menyebabkan penumpukan sampah secara signifikan. Jika tidak segera ditangani, tumpukan sampah ini akan terus meningkat dan menjadi masalah yang semakin sulit diatasi,” ucap Dian usai meninjau langsung TPA dan TPST di Gili Trawangan seperti dikutip dari KPK.go.id.

Dalam tinjauan di lapangan, terlihat botol-botol plastik masih disortir manual oleh petugas. Sementara sampah recycling, botol kaca, dan organik, dipilah menggunakan dua mesin conveyor. Lantas, untuk sisa residu yang tidak dapat didaur ulang, langsung dibuang ke TPA. Di bibir pantai juga ditemukan adanya sampah yang belum diangkut, yang hanya ditutup plastik.

“Ini kan tidak elok, ya. Sampah belum diangkut, hanya ditutup plastik saja. Bisa saja, lho, sampah itu terbawa ke laut padahal di sana banyak wisatawan. Bagaimana kalau wisatawan kapok karena pantainya kotor?” tanyanya.

Temuan Tim Satgas Korsup KPK Wilayah V terkait pengelolaan sampah di Gili Trawangan cukup disayangkan. Pasalnya, skor Monitoring Center for Prevention (MCP) KLU tahun 2023 berada di angka 85 persen, yang masuk dalam kategori terjaga. Dengan kata lain, dalam implementasinya masih ada persoalan perihal tata kelola keberlangsungan pemerintahan oleh Pemerintah KLU.

Pengurus TPST Gili Trawangan Cahyo Kurniawan di kesempatan yang sama, menjelaskan TPA Gili Trawangan masih bersebelahan dengan TPST. Sisa sampah ditumpuk di sana hingga menjadi gunungan sampah yang tak elok di pandang. Sedangkan, untuk sampah yang bisa didaur ulang, setiap 30 hari sekali akan diangkut secara manual ke darat, tepatnya ke Teluk Dalam, KLU untuk diproses lebih lanjut.

TPST Gili Trawangan dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) yang bekerja sama dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)—dikenal sebagai Front Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL). Selama ini, Cahyo menuturkan, peran DLHK sebagai pemberi izin atas pengelolaan sampah serta sosialisasi terkait dalam pengelolaannya. Namun, terkait solusi penanganan sisa sampah di Gili Trawangan, masih belum ada.

“Harapan besar kami, sisa residu bisa dibawa keluar pulau Gili Trawangan. Kami juga berharap KPK bisa mendorong pemerintah daerah lebih fokus dan peduli tentang penanganan sampah yang lebih optimal, karena sekarang tempat pembuangan sampah yang ada di sebelah TPST itu sudah overload bahkan sering terjadi kebakaran besar. Kalau dibiarkan, Gili Trawangan bisa terancam,” jelas Cahyo.

Cahyo menjelaskan bahwa pengolahan sampah di TPST dilakukan setiap hari tanpa henti, dengan tenaga kerja sekitar 28 orang yang bekerja selama 8 jam sehari. Namun, hal itu masih belum efektif karena untuk sampah 18 ton per hari, butuh waktu pemilahan selama 9 hari. Sedangkan, sampah baru setiap harinya terus bertambah.

Pada tahun 2023, pendapatan daerah Kabupaten Lombok Utara (KLU) berada di angka Rp958,7 miliar dengan 16,13% berasal dari PAD; 8,9% berasal dari pajak; dan 1,2% dari retribusi. Angka ini menjadi angka terkecil di antara Kabupaten Lombok lainnya, seperti Kabupaten Lombok Barat sebesar Rp1,87 triliun, Kabupaten Lombok Tengah sebesar Rp2,3 triliun, dan Kabupaten Lombok Timur sebesar Rp2,8 triliun.

“Jangan sampai disisipkan politik anggaran juga untuk pengelolaan sampah ini. Pemda harus memberikan perhatian khusus pada infrastruktur dan pengelolaan sampah di kawasan wisata seperti Gili Trawangan. Sampah yang menumpuk ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga dapat merusak citra pariwisata yang menjadi sumber pendapatan utama daerah,” ujar Dian.

KPK mendorong pemerintah daerah dan pihak terkait untuk segera mengalokasikan anggaran yang memadai untuk perbaikan fasilitas dan alat pengolahan sampah. KPK juga mengajak masyarakat dan pengusaha di Gili Trawangan untuk lebih aktif dalam mengelola sampah, baik melalui pengurangan sampah sejak dari sumbernya, maupun mendukung upaya daur ulang.

Dian juga memberikan rekomendasi pada Pemda KLU agar bisa mengeluarkan kebijakan terkait permasalahan sampah, misalnya, wisatawan diwajibkan untuk membawa kembali sampah-sampah yang dibawa ke pulau.

Lebih lanjut, KPK akan terus memantau perkembangan penanganan masalah sampah ini dan siap memberikan pendampingan kepada pemerintah daerah dalam memperbaiki tata kelola lingkungan di Gili Trawangan.

“Kami berharap langkah-langkah ini dapat segera diimplementasikan demi menjaga keberlanjutan lingkungan dan pariwisata di Gili Trawangan,” pungkasnya.

Hal senada disampaikan Bupati KLU, H. Djohan Samsu, S.H. Diakuinya, permasalahan sampah di Gili Trawangan, Meno, dan Air  membutuhkan penanganan serius. Khusus di Gili Trawangan, volume sampah belasan ton sampah setiap harinya, sehingga kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di lokasi tersebut tidak bisa menampung seluruh sampah yang dihasilkan dan berdampak pada penumpukan sampah hingga 9 meter.

“Produksi sampah di tiga gili sangat besar. Apalagi di Gili Trawangan, sudah menumpuk hingga 9 meter, sangat banyak produksi. Satu hari berapa belas ton,” keluhnya.

Karena Gili Trawangan termasuk dalam destinasi wisata unggulan NTB, mantan Kepala Biro Umum Setda NTB ini meminta Pemprov NTB untuk memperhatikan permasalahan sampah di lokasi ini. “Justru saya ingin dari provinsi ada perhatian khusus karena ketiga gili itu adalah daerah tujuan wisata utama di NTB, jadi perlu ada perhatian dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat,” lanjutnya.

Saat ini, untuk mengatasi penumpukan sampah di lokasi wisata tersebut, Pemda KLU mengangkut sampah dari Gili menuju daratan Lombok untuk sementara waktu.

Menurutnya, jumlah tenaga kebersihan yang dimiliki oleh Pemda KLU belum mencukupi untuk menangani permasalahan sampah yang ada di Gili Trawangan Meno dan Air, begitupun dengan alokasi anggaran untuk mengatasi permasalahan sampah ini dinilai cukup tinggi.

Sehingga untuk jangka panjangnya, pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak ketiga untuk mengatasi sampah yang semakin menumpuk.

“Kita berikhtiar saat ini untuk bagaimana kita menangani sampah ini dan InsyaAllah kita kerja sama dengan pihak ketiga supaya bersih daerah itu. Memang tugas DLHK, tapi kan enggak memungkinkan dengan jumlah tenaga yang ada, jadi kita kerja sama dengan pihak ketiga,” jelasnya.

Saat ini, sudah ada pihak ketiga yang ingin bekerja sama dengan Pemda KLU dalam upaya mengatasi sampah yang ada di tiga Gili tersebut. Pihak ketiga ini dikatakan akan membangun tempat pengolahan sampah di sekitar lokasi Tramena.

“Ada yang tertarik tapi belum, nanti ada fasilitas yang dibangun di situ untuk kepentingan olahan sampah,” katanya.

Menurutnya, dengan PemerIntah KLU bekerja sama dengan pihak ketiga, Pemda tidak terlalu ngos-ngosan memikirkan anggaran, karena sudah ada bantuan dari pihak ketiga tersebut. Oleh karenanya, pihaknya sangat mengupayakan kerja sama ini, pun dibutuhkan juga atensi dari Pemerintah Provinsi mengingat kawasan ini juga menyumbang PAD bagi provinsi. ‘’Kita ingin kalau ada pihak ketiga yang bisa mengelola itu bagus, jadi nanti ada sharing anggaran,” harapnya. (ris/era/r)

IKLAN

spot_img
RELATED ARTICLES
- Advertisment -


VIDEO