Giri Menang (Suara NTB) – Anggaran untuk penanganan kasus kekerasan perempuan dan anak di Lombok Barat (Lobar) terbilang minim. Pasalnya, untuk bidang yang menangani saja hanya dianggarkan Rp100 juta. Dibanding anggaran ke organisasi wanita di Lobar. Berkaca dari kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Lobar tiap tahun cenderung meningkat. Selain itu, Lobar belum memiliki Rumah Aman.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Lobar Ramdan Haryanto mengatakan, untuk anggaran penanganan (sosialisasi, pencegahan dan lainnya) ada di OPD terkait mencapai hampir ratusan juta. “Total anggaran kami (untuk penanganan, sosialisasi) cuma Rp300 juta,” ujarnya.
Dana sebesar Rp300 juta ini pun dibagi ke beberapa organisasi wanita, seperti PKK, GOW dan Dharma Wanita. Kendati anggarannya sendiri-sendiri, namun juga diarahkan untuk membantu penanganan persoalan ini. “Ini bentuk kepedulian, kalau di bawah umur, program kita kan salah dampak stunting itu adalah pernikahan anak,” ujarnya.
Sedangkan khusus di bidang Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (P2A), awalnya ada Rp50 juta namun ada tambahan hanya Rp50 juta, sehingga menjadi 100 juta. Dibanding anggaran tahun-tahun sebelumnya, memang mengalami penurunan. Bahkan pernah tidak ada anggarannya untuk penanganan. “Tiga tahun terkahir ndak ada peningkatan, untung saja Kita dapat dari DAK sebesar Rp300 juta,’’ terangnya.
Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Perempuan dan Anak (P2A) DP2KBP3A Lobar, Mustilkar, menyebut secara umum kasus mencakup kekerasan anak, pernikahan anak dan lainnya mencapai 79 kasus. Dikatakan sistem pendataan yang dilakukan berbeda dengan tahun lalu, tahun lalu pernikahan anak tidak masuk SIMFONI. Mulai tahun ini, pernikahan anak itu masuk kekerasan anak, sehingga jumlahnya pun semakin besar, karena masuknya pernikahan usia anak itu.”Masuk ke kekerasan lainnya,” sambungnya.
Kalau dirinci, dari 79 kasus tersebut, terdapat 21 kasus pernikahan anak. Sedangkan sisanya ada 58 kekerasan anak. Pihaknya berharap kasus ini tidak melonjak, sehingga dibanding tahun lalu bisa turun jumlah kasusnya. Langkah pencegahan yang dilakukan, di satuan pendidikan sudah dibentuk Satgas TPPK yang melintas lintas sektor, yakni Dikbud, Dinsos, DP2KBP3A dan OPD lainnya.”Tugas TPPK ini adalah dari tata kelolanya, edukasi dan penanganan,” jelasnya.
Sedangkan untuk kasus pernikahan dini atau usia anak, dari 2.000 lebih pernikahan yang ada di Lobar, hanya sekitar 7 persen kasus pernikahan anak yang ada di Lobar. “Angka pernikahan anak pada 2023 ada 178 dari 2.000 an pernikahan, itu hanya sekitar 7 persen,” sebutnya.
Angka pernikahan 7 persen tersebut masuk dalam kasus yang sudah dilaporkan, karena semua proses pernikahan harus dilaporkan. Sedangkan, untuk pendataan dari tim DP2KBP3A langsung turun ke lapangan untuk pendampingan pencegahan stunting.
Menurut datanya, turun dari 2022 ke 2023 dari 16 persen ke 7 sekian persen. Dengan angka tersebut, dirinya merasa keberatan jika kasus pernikahan anak disebut marak terjadi di Lobar. “Itu menurun. Kalau dibilang marak juga kami kurang setuju. Karena kalau marak itu setiap hari,” terangnya.
Untuk kecamatan dengan angka tertinggi menurutnya ada di tiga Kecamatan. Seperti di Narmada, Lingsar, dan Sekotong. Dan dari kasus tersebut tidak ada yang melanjutkan sekolah dengan rentan usia 16 tahun sampai 18 tahun. “Ada yang SMP dan SMA, yang paling banyak SMA. Kami pernah berhasil membelas (memisahkan) 50 kasus, dan 7-nya sudah tidak dapat dibelas,” jelasnya.
Menurutnya, aturan ini sudah diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) pada tahun 2018 nomor 30 tentang Pencegahan Pernikahan Anak. Yang selanjutnya, pada 2019 diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) terkait hal tersebut. Meski di desa saat ini belum ada peraturan desa (perdes) atau lembaga perlindungan anak tetapi kepala desa (kades) tetap melakukan pencegahan.(her)