Mataram (Suara NTB) – Pengusaha properti di Provinsi NTB meminta kepada pemerintah untuk menangguhkan rencana menaikkan tarif pajak dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku pada awal tahun 2025.
Dorongan untuk penangguhan pemberlakukan kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming ini sebagai bentuk kekhawatirkan akan beratnya rantai ekonomi di sektor property, terutama rumah komersil.
Ketua Real Estate Indonesia (REI) Provinsi NTB, Heri Susanto di Mataram, Senin, 25 November 2024 mengatakan, kendatipun pengusaha property di NTB sebagian besar membangun rumah subsidi yang tidak kenapa PPN, tetapi dampaknya akan sangat besar terutama kepada proyek-proyek rumah komersil.
“Kalau rumah subsidi tidak berdampak, karena tidak dikenakan PPN. Tapi kalau komersil, itu bisa dahsyat dampaknya. Saya prediksi dengan kenaikan PPN sampai 12 persen, potensi rumah komersil yang sudah mulai bagus pergerakannya, akan turun lagi,” ujarnya.
Apalagi usaha property saat ini dipengaruhi isu-isu pemerintah memberikan rumah gratis kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Isu tersebut menurutnya perlu dibijaksanai oleh pemerintah.
Persoalannya menurut Heri Susanto, bukan terletak kepada masyarakat diberikan gratis rumah. Tetapi kepada usaha ikutan sektor property secara menyeluruh.
Sebagaimana diketahui, Menteri Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait belum lama ini melaksanakan groundbreaking pembangunan rumah gratis bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Kabupaten Tangerang, Banten.
Menteri Maruarar, menyumbangkan lahan 2,5 hektare untuk proyek di Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji. Sementara itu, pembangunan rumah digarap oleh salah satu perusahaan property nasional. Ada 250 unit rumah tipe 36 yang bakal dibangun. Namun, ia masih menggodok sasaran penerima rumah gratis ini berikut mekanismenya.
Niat baik untuk memberikan rumah gratis kepada masyarakat ini, menurut Heri sangat bagus. apalagi kepada masyarakat yang memang kurang mampu, penanganan sosialnya sangat didukung. Namun dikhawatirkan kebijakana ini berdampak negative kepada pengembang, dan lebih dari 100 sektor terkait perumahan.
“Sekarang masyarakat dibawah pada nunggu rumah gratis. Padahal mereka nggak tau persyaratannya apa. Secara otomatis, isu ini membuat orang jadi tidak beli rumah subsidi. Kalau orang sudah nggak mau beli rumah subsidi, bagaimana dampaknya kepada pengembang-pengembang yang sudah dan akan membangun rumah subsidi. Kan otomatis ekonomi akan terdampak besar, karena semua usaha ikutan property akan terdampak langsung” kata Heri.
Karena itu, REI terus menyuarakan kepada pemerintah agak melakukan kajian secara mendalam dan komprehensif terhadap kebijakan-kebijakan baru yang akan diterapkan, khususnya Kementerian Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PKP).
REI NTB juga berharap, seharusnya, pemerintah membantu masyarakat , terutama yang memiliki kolektabilitas (status pembayaran kredit yang menunjukkan kemampuan peminjam untuk memenuhi kewajiban membayar angsuran atau pinjaman) tinggi di bank.
“Harusnya itu (status kredit macet) saja dihapus. Kalau petani, UMKM hutangnya bisa diputihkan, masak iya sih sekedar untuk memutihkan kolektabilitas di bank nggak bisa. Kan Cuma memutihkan status konsumen di bank. Hanya butuh kebijakan. Gak pake duit. Supaya namanya kembali pulih di bank, dan bisa ngajukan KPR. Kalau memutihkan utang kan jelas pakai uang,” tandasnya. (bul)