Oleh: Warda Putri Hafidzah
(Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang)
Maraknya pengenalan, peredaran, dan penyalahgunaan narkoba di Nusa Tenggara Barat (NTB) telah mencapai garis bahaya (danger line). Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, serta ketergantungan jika disalahgunakan. Seperti yang kita ketahui benda haram ini adalah senyawa yang tidak hanya merusak generasi ke generasi, melainkan organ sosial, ekonomi, dan bahkan kepercayaan publik terhadap otoritas negara sehingga merusak kredibilitas mereka.
Dalam hal ini kemudian menjadi semakin krusial, dengan adanya tuduhan bahwa aparatur negara diduga terlibat, mendukung, bahkan melindungi oknum-oknum penyebar narkoba. Salah satu tindakan yang menjadi sorotan dan viral adalah postingan seorang perempuan dengan akun facebook “Badai Ntb (Uswatun Hasanah)”. Dalam akun media sosialnya, ia menyebarluaskan identitas anomali yang diklaim memiliki hubungan dengan pelaku narkoba tersebut sehingga menuai berbagai macam komentar dari netizen, ada yang pro bahkan kotra besar-besaran dikarenakan tidak adanya bukti yang konkret. Lantas apakah itu adalah bagian dari keberanian yang dapat dibenarkan, atau justu melanggar hak dan privasi mengingat belum ada bukti yang kuat?
Dikutip dari TB News, bahwa terdapat 191 perkara kasus narkoba yang dilaporkan di kejaksaan tinggi NTB pada tahun 2024. Ini nyaris mengenai angka 200, yang berarti kondisi ini bera-benar darurat. Langkah ini menjadi suatu gerakan yang membuka kembali mata masyarakat.
Berdasarkan data yang diberikan Badan Narkotika Nasional (BNN), NTB menjadi wilayah yang rawan terhadap penyebaran narkoba karena menjadi jalur pelayaran yang strategis. Dalam hal ini generasi muda sebagai penerus bangsa seringkali menjadi alat akan oleh predator dalam penyebaran barang haram ini. Kondisi ini didasari akan kurangnya edukasi dan perhatian secara menyeluruh.
Lebih mengkhawatirkan lagi bahwa terdapat indikasi bahwa peredaran narkoba di NTB dilindungi oleh oknum-oknum yang merupakan bagian dari aparatur negara. sehingga minim akan kerjasama dan kecurigaan terhadap aparat negara yang diduga terlibat menggambarkan akan ketidakharmonisan aparat dengan masyarakat dalam menangani kasus narkoba ini. Hal ini menimbulkan kontradiksi besar, di satu sisi masyarakat membutuhkan aparat dalam menangani kasus ini, namun di sisi lain mereka juga khawatir dan juga kecewa terhadap pemerintah bahkan hukum yang ada semakin terkikis. Situasi ini kemudian memperumit dam menghambat pemberantasan narkoba.
Tindakan yang dilakukan Badai NTB tersebut selayaknya patut dihargai dan diapresasi. Dalam konteks penyebaran narkoba yang tak terkendali dan masyarakat mulai resah, tindakan individu ini merupakan dinilai sebagai semangat guna melawan kejahatan dan juga menekan pemerintah agar lebih responsif sehingga segera bertindak dalam menangani kasus ini. Secara tidak langsung hal ini memberikan dampak besar terhadap masyarakat yang awalnya diam saja, kemudian berani bergerak maju memberikan pernyataan tidak setuju dalam kasus penyebaran barang haram ini. Di sisi lain, hal ini menimbulkan kekecewaan terhadap aparat yang dicurigai terlibat dengan para sindikat narkoba yang kemudian mencerminkan bahwasanya sistem hukum cenderung lamban dan tidak adanya transparansi. Dalam kondisi dan situasi seperti ini, alhasil masyarakat mengambil tindakan sendiri, meski melanggar aturan hukum.
Di sisi lain, mempublikasikan wajah pelaku yang masih terduga merupakan pelanggaran berat terhadap hukum. Karena ini belum terbukti akurat dan memuat pencemaran nama baik. Seperti yang termuat dalam Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2, tentang larangan distribusi informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik. Selain itu tindakan ini bertentangan dengan aturan hukum pidana (KUHP) pasal 310 ayat 1 dan pasal 311 ayat, tentang penghinaan yang dilakukan dengan menuduhkan sesuatu hal nyata, kemudian agar diketahui umum dan meskipun tuduhannya benar, akan tetapi tidak dapat membuktikan hal tersebut maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana ataupun denda. Dalam sistem hukum Indonesia, seseorang meiliki asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang di mana mereka tidak dapat dikatakan bersalah selagi belum ada bukti yang akurat.
Untuk memberantas kasus narkoba di NTB ini perlu adanya kerja sama oleh semua elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, hingga aktor agama dalam masyarakat. Melalui sosialisasi dan gerakan pemberantasan narkoba menjadi langkah awal akan pendekatan terhadap pemerintah dan membangun transparansi oleh aparat itu sendiri bersama Badan Narkotika Nasional (BNN), seperti gerakan yang dilakukan oleh sekelompok ibu-ibu di Desa Talabiu, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima. Pemanfaatan media sosial yang dilakukan oleh Badai NTB adalah salah satu langkah konkrit, namun harus lebih memerhatikan lagi akan cara mempublikasikan informasi agar tetap menghormati hukum dan hak individu.
Memasuki tahun 2025 ini memperkuat upaya menjadi momentum bagi masyarkat NTB dalam memperkuat upaya pemberantasan narkoba. Langkah berani yang dilakukan oleh Badai NTB di akun facebook nya tersebut merupakan langkah konkret dengan melihat aturan yang ada. Di sisi lain, aparat negara haruslah lebih responsif dan menjalin ikatan yang kuat dengan masyarakat sehingga semua dapat berjalan sukses. Di 2025, mari menjadi pribadi yang lebih bijak dengan meningkatkan literasi digital.