Tanjung (Suara NTB) – Direktur Eksekutif Lombok Utara Corruption Watch (LUCW), Tarpiin, menilai ironi klaim Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Lombok Utara (KLU) usai menyebut konstruksi miring pada tiang gedung kantor DPRD yang dikerjakan CV. Sita Konstruksi Mandiri, dianggap hal biasa. Sebaliknya, Tarpiin memandang klaim tersebut sebagai alibi yang membela pihak swasta.
“Ironi dan miris kita rasakan jika hasil konstruksi gedung Dewan yang diketahui miring dianggap biasa. Kita tidak sedang membangun Menara Pisa (menara Miring di Italia), tetapi membangun kantor untuk wakil-wakil rakyat kita yang representatif,” cetus Tarpiin, Kamis, 16 Januari 2025.
Atas klaim pihak dinas tersebut, ia pun meminta agar pejabat terkait pada Dinas PUPR KLU – baik PPK atau Tim Ahli yang lain, agar mencocokkan kembali hasil konstruksi (miring) dengan peta perencanaan. Jika peta pada perencanaan dibuat miring, maka sebagai warga, Ia pun akan ikut membenarkan klaim Dinas tersebut.
“Tidak bisa ujug-ujug karena alasan estetis, alasan tidak terlihat karena tertutup plafon lalu itu kita benarkan. Itu hanya alibi yang tidak bisa diterima secara akal sehat, ” ungkapnya.
Ia khawatir, jika hasil konstruksi semacam ini dianggap biasa, tidak menutup kemungkinan pada konstruksi lain yang tidak sesuai gambar, juga dianggap lumrah.
Tarpiin mengajak semua pihak, termasuk seluruh Dewan KLU, untuk lebih kritis terhadap kondisi infrastruktur, baik yang sudah dibangun, sedang dibangun atau bahkan yang akan dibangun. Ia tidak ingin, dana-dana yang disetujui oleh DPRD mangkrak setelah terbangun, atau menjadi tidak efektif digunakan karena tidak didukung prasarana lain dan sebagainya.
“Teman-teman sudah melakukan investigasi dan menemukan beberapa tiang yang bengkok. Ini temuan awal kami, tetapi oleh PPK dianggap tidak ada masalah. Tentu ini menjadi pertanyaan kami. Hal-yang sangat fundamental dianggap tidak masalah. Ini miris,” cetusnya.
Belajar dari pengalaman proyek sebelumnya, tambah dia, beberapa proyek menjadi kasus hukum yang menyeret sejumlah pegawai. Sebut saja, proyek RSUD, atau pun kasus tiang pancang Dermaga Gili.
“Proyek di Dermaga Gili Air juga waktu itu katanya tidak ada masalah versi dinas, tetapi buktinya ada tersangka,” imbuhnya.
Ia pun mendesak, tidak hanya DPRD, tetapi juga Inspektorat hingga APH untuk mengawal pelaksanaan proyek di KLU sehingga peruntukan anggaran negara yang sudah disetujui dikelola secara benar.
“Terakhir, harapan kami, semua perusahaan yang kena denda agar dianulir. Tidak bisa memenuhi pekerjaan 100 persen adalah bukti perusahaan tersebut tidak mampu,” tandasnya.
Terpisah, Kepala Dinas PUPR – PKP KLU, Kahar Rizal, ST., MT., kepada wartawan mengaku pihaknya tidak bisa sembarangan memutus kontrak perusahaan tersebut mengacu pada regulasi yang ada. Bahwa yang bersangkutan masih boleh diberi kesempatan untuk menyelesaikan apabila volume pekerjaan pada batas akhir kontrak di atas 70 persen.
“Pada saat 31 Desember, progres pekerjaan mencapai 85 persen. Berdasarkan aturan yang ada, terhadap pekerjaan yang tidak selesai pada tahun anggaran, maka diberikan kesempatan perpanjangan dan dibayarkan sesuai progres,” jelasnya.
Namun, lanjut Kahar, jika progresnya di bawah 75 persen, maka tidak layak dilakukan perpanjangan, tetapi harus putus kontrak. Nah, untuk kontraktor pembangunan kantor DPRD, jelasnya, itu layak dilakukan perpanjangan karena progres pekerjaan sudah di atas 75 persen ketika berakhir tahun anggaran.
“PPK juga sudah sanggup menyelesaikan pekerjaan hingga 100 persen dengan penambahan 50 hari kerja. Setiap harinya dikenakan denda. Jika ingin sedikit kena denda, maka pekerjaan harus segera diselesaikan. Dendanya tidak main-main sehari, sekitar Rp 10 juta,” ungkapnya.
Selanjutnya mengenai tiang bengkok, Kahar menjelaskan bahwa itu bukan bengkok namun sedikit miring. Tetapi secara mutu dan kualitas tidak bermasalah. Kemudian dari estetika bangunan juga tidak masalah karena miringnya di bagian ujung saja dan itu tertutup plafon. (ari)