Mataram (Suara NTB) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong adanya Satuan Tugas (Satgas) pengawas tambak udang. Dorongan ini muncul akibat 90 persen dari 503 tambak udang di NTB tidak mengolah limbah hasil tambak dengan baik.
Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Koordinasi dan Supervisi Wilayah V, KPK Republik Indonesia, Dian Patria mengatakan pihaknya memberikan waktu enam bulan bagi pengusaa tambak untuk menyelaraskan izin Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan Sertifikat Laik Operasi (SLO).
“Akhirnya pelaku usaha tadi sepakat, 10 Maret disurati pelaku usaha dikasih waktu enam bulan. Jika mereka tidak membereskan IPALnya dan mengurus SLO dan aset ke provinsi mereka stop sampai mereka membereskan,” ujarnya, Kamis, 27 Februari 2025.
Menurutnya, sektor tambak dihadapkan pada masalah teknis terkait pembagian kewenangan antara urusan darat dan laut. Pembesaran crustacea (udang) masuk dalam kategori usaha darat di bawah naungan Pemda. Namun, tambak tetap membutuhkan air laut untuk beroperasi yang mana berada di bawah naungan provinsi. Sehingga menjadi tantangan untuk memastikan koordinasi antara keduanya.
Dua kewenangan perizinan ini harus dipenuhi oleh pengusaha tambak. Namun, menurut Dian, antara Pemda dan Pemprov NTB kurang koordinasi. Akibatnya perizinan tambak di daerah ini tidak sinkron. Contohnya saja, Pemda KLU mendata sekitar 29 tambak daerah, sedangkan, provinsi mendata sekita 50. ‘’Bisa jadi ada kesalahan dalam koordinasi antar lembaga, seperti antara LH, DKP KLU, dan KSP,’’ katanya.
Selain untuk menyelaraskan IPAL, pembentukan Satgas ini juga bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang lebih efektif di dalam tubuh pemerintahan agar data yang diterima bisa lebih akurat dan seragam.
Salah satu langkah konkret yang akan diambil dalam Satgas ini adalah pengumpulan data produksi dari masing-masing pelaku usaha tambak. Yang mana, paling lama tujuh hari setelah panen pengusaha tambak harus sudah menginput hasil panen mereka.
“At least NIK masuk karena usaha tambang kan orang, perorangan. Kita open untuk internal mereka ngisi source assesmen, kabupaten mengisikan masuk data produksi, selain NIK juga data produksi. Kalau pengusaha kan mau mengisi, misal kan 7 hari setelah panen paling telat mereka mengisi berapa produksi udang di berapa kolam sehingga nanti Pemda punya data produksi,” terangnya.
Dian mengatakan, setelah monitoring dengan pengusaha tambak, pengusaha sepakat pengelolaan tambak harus mencakup kedua aspek ini, Baik darat maupun laut, agar masalah polusi dan pencemaran di laut dapat diminimalisir.
“Sementara tambak tidak lepas dari KLBI ini, tambak pasti butuh air laut. Jadi kan tidak mungkin, artinya dia tetap harus ngurus yang laut. Laut ini resiko tinggi, pelaku usaha melihat celah di sini. Akhirnya sepakat tadi, pengusaha harus ngurus baik yang darat maupun yang laut,” jelasnya.
Di sisi lain, pemerintah daerah juga meminta koordinasi yang lebih baik antara kabupaten dan provinsi. Jika diperlukan, koordinasi ini dilakukan menggunakan pendekatan multi-door agar pengelolaan tambak dapat berjalan lebih efektif dan menghindari tumpang tindih kewenangan. (era)